Langsung ke konten utama

Mampu?

Image result for cartoon muslimah menangis
Dulu berulang kali aku menangis karena beban ekspektasi. Entah berapakali aku merasa, apa yang diamanahkan kepadaku bukan benar-benar apa yang aku kuasai. Mereka menganggapku bisa. Mereka menganggapku luar biasa. Dan akhirnya mereka menyadari bahwa aku hanya layaknya mahasiswa biasa. Bukan seorang yang layak dijadikan ujung tombak. Diandalkan di bagian tengah. Hanya sebagai pencair suasana. Dengan lingkungan yang seperti itu, aku bertanya. Seharusnya aku ada dimana? Beberapa kali aku mempertanyakan. kenapa semuanya terasa tidak maksimal. Sepertinya memang aku yang salah. Amanah yang ada belum bisa aku optimalkan hingga mencapai kebermanfaatan yang paripurna.

Aku tidak dibiarkan berhenti begitu saja. 2018, amanah yang lebih besar Allah berikan sebagai pelajaran. Sejujurnya, sampai hari ini aku belum bisa mencerna, apa yang Allah hikmahkan dibalik ini semua? Kalau aku diijinkan untuk protes, mungkin aku bisa bilang bahwa ini bukan bidang yang aku suka, bukan bidang yang aku bisa. Ditambah dengan kesibukan akademik yang menyita waktu dari pagi hingga petang. Ada banyak tanggungan moral yang juga harus bisa diselesaikan. Pertanyaanku kali ini berbeda. Tidak lagi soal ekspektasi orang-orang yang aku rasakan berlebihan. Tapi apakah aku benar-benar dipilih karena aku orang yang pantas? Atau karena memang pilihan yang terbatas?

Aku kah yang terlalu mengkerdilkan diri? Aku kah yang manja dan terus menunggu orang lain untuk terus mengerti? Atau aku memang belum bisa sendirinya meng-upgrade diri?Iya. Mungkin iya. Beberapa kali kecewa, jatuh, tapi rasanya tidak ada orang yang bisa diajak berbagi cerita. Rasanya hari ini puncaknya. Saat dimana aku merasa belum bisa melebarkan kapasitas padahal beban terus bertambah berat. Saat dimana keaadaaan terus menghimpit, sedangkan aku dituntut untuk terus bergerak. Saat dimana aku merasa butuh waktu lebih dari 24 jam dalam sehari untuk menyelesaikan semua pekerjaan.

 Hari ini, sebenarnya hari yang sama dengan hari-hari lainnya. Hanya aku memang sedang suntuk dan butuh pulang lebih cepat. Mungkin. Di sore yang sama dengan hari-hari sebelumnya. Di motor lusuh yang sama kutumpangi setiap harinya. Di tanjakan yang familiar rodaku berputar di atasnya. Dengan dzikir harian sore yang biasa kubaca sambil berkendara. Aku terhenyak dengan sepotong ayat yang sudah pasti tidak biasa “laa yukallifullahu nafsan illa wus’aha”.
Allah masih sangat sayang dengan hamba-Nya yang cengeng ini. Aku diingatkan dengan begitu lembutnya. Tak peduli betapa berat beban yang aku rasakan, Allah sudah berjanji bahwa memang beban itu dapat kuatasi. Sudah, runtuhlah ego dengan tetes-tetes air mata.

“ya tuhan kami, janganlah engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami, janganlah engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami.”

Dinda, tugasmu sekarang bukan mengeluh dan banyak berprasangka. bukan cemberut dan bermuram durja. Tataplah kedepan, banyak hal yang tidak selesai hanya dengan meributkan masalah ketidaknyamanan hati. Tengoklah ke samping, ada rekan sejawat, sahabat, dan saudara yang harus kau samakan ritme langkahnya untuk sebaik-baiknya menyelesaikan amanah ini. Jangan lupakan mereka yang di belakangmu. Orang-orang yang tidak hentinya mensupporrt dengan kasih sayang yang tidak henti-hentinya. Letakkan keningmu di bawah, ingatlah rahmat-Nya, harapkanlah ridha-Nya, pintalah kekuatan pada-Nya.

Terakhir, jangan lupa makan. Amanah besar, butuh tenaga besar juga kan?


Jangan menyerah
Bukankah Allah tidak pernah mengingkari janji-Nya?
02.09.2018

Komentar

  1. halo mba Alsa,
    gatau kenapa hari ini tiba" buka account instagramnya mbak hehe mungkin saya terlalu gabut..
    lalu membaca seluruh tulisan mba Alsa di blog ini,
    dari keadaan yg saya ga relate sm sekali saja saya sampai menitikkan air mata :") terima kasih ya mbak, hari ini saya diingatkan untuk selalu merefleksi diri..
    jangan berhenti menulis mbak, saya jatuh cinta banget sama tulisan" mba Alsa😊❤️

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antara Musa dan Harun

Terkisah dua sosok nabi yang berjuang di satu masa. Diturunkan di tengah masyarakat Bani Israil yang piawai berkelit dan berkeluh kesah. Melawan tirani Firaun yang keji dengan pasukan penyihir sakti mandraguna. Musa, sesosok bayi yang lolos dari genosida karena skenario Sang Maha. Diangkat anak oleh sosok paling keji di dunia sekaligus wanita yang disebut paling mulia. Kini bertarung dengan Ayah angkatnya. Allah katakan, serulah dengan qaulan layyinan. Lidahnya yang cedal menjadi kekurangan yang sangat menggengu dalam misinya menyeru pada agama. Betapa berat cobaannya, pengikutnya tak seberapa. Ia pinta Harun, saudaranya untuk menemani langkah perjuangan. Untuk apa? Bukan untuk mengurangi bebannya, melainkan sebagai partner untuk senantiasa mengingat tuhan-Nya. Iya, bukan sebagai tempat berkeluh kesah, menimpakan beban, atau bahkan untuk disalah-salahkan. Dalam kehidupan berorganisasi, tak jarang kita menemukan partner-partner dalam hidup. Beberapa cocok dan bisa bekerja ...

Baru Kali Ini.

Ya, baru kali ini dalam sejarah semua orang dirumahkan, pertemuan ditiadakan, sekolah-sekolah diliburkan. Kata ayah, ini kejadian pertama bahkan dalam sekian panjang umur hidupnya, atau bahkan umur kakek. Apa yang sebenarnya tengah terjadi? Wabah Covid-19 yang kontroversial ini mulai diwaspadai di Indonesia ketika umi dan yaya umroh bulan Januari lalu. Saat itu H-3 kepulangan. Bandara-bandara di Indonesia sudah mulai memasang thermal check. Aku kirimkan screenshot salah satu media yang aku baca “umi, yaya, pulangnya hati-hati ya.” aku kirimkan pesan singkat itu di grup keluarga. Sejak awal perbincanganku dengan teman-teman mengenai wabah ini, kita memang tidak pernah biasa memandangnya. Ini perkara serius yang harus ditangani segera.  Perkembangan setelah itu pesat sekali. Wacana publik yang berkembang di Indonesia, dari para ahli yang memperhitungkan banyak hal, hingga bumbu-bumbu politis dan kebijakan yang sampai hari ini belum terlihat titik terangnya. Rakyat disuguhi hi...

Cita-Citaku

Bicara soal masa anak-anak, pasti kita selalu dijarkan untuk membuat cita-cita. Dan kalo kita ingat lagi, rasanya dulu cita-cita kita suka berubah-ubah. Tergantung mood, pengetahuan, atau buah fikir lainnya. Aku pun begitu. Waktu aku kecil, aku punya cita-cita untuk menjadi dokter. Karena apa ya? Aku lupa. Seingatku, aku Cuma menganggap kalau profesi itu keren. Cukup. Soal dedikasi, profesi ini tidak perlu dipertanyakan lagi. Lama kelamaan, ketika sedikit dewasa, aku mulai paham bahwa profesi dokter bukan profesi yang mudah dicapai. Butuh perjuangan, bahkan hanya untuk masuk ke pendidikannya. Bukan hanya itu, uang yang harus disediakan pun tidak sedikit. Tak sampai hati rasanya untuk memaksakan   cita-cita ini ke umi yaya. Ah, lagipula nilaiku juga pas-pasan. Kalau memang masih mau nekat, mungkin dokter gigi saja. Masa SMP-SMA adalah masa pencarian. Berbagai profesi aku perhatikan. Aku sempat ingin jadi politisi. Salah satu hobiku ketika di pondok adalah baca Koran di pap...