Langsung ke konten utama

Antara Musa dan Harun



Terkisah dua sosok nabi yang berjuang di satu masa. Diturunkan di tengah masyarakat Bani Israil yang piawai berkelit dan berkeluh kesah. Melawan tirani Firaun yang keji dengan pasukan penyihir sakti mandraguna. Musa, sesosok bayi yang lolos dari genosida karena skenario Sang Maha. Diangkat anak oleh sosok paling keji di dunia sekaligus wanita yang disebut paling mulia. Kini bertarung dengan Ayah angkatnya. Allah katakan, serulah dengan qaulan layyinan. Lidahnya yang cedal menjadi kekurangan yang sangat menggengu dalam misinya menyeru pada agama. Betapa berat cobaannya, pengikutnya tak seberapa. Ia pinta Harun, saudaranya untuk menemani langkah perjuangan. Untuk apa? Bukan untuk mengurangi bebannya, melainkan sebagai partner untuk senantiasa mengingat tuhan-Nya. Iya, bukan sebagai tempat berkeluh kesah, menimpakan beban, atau bahkan untuk disalah-salahkan.

Dalam kehidupan berorganisasi, tak jarang kita menemukan partner-partner dalam hidup. Beberapa cocok dan bisa bekerja dengan baik dan efektif. Beberapa tidak, dan sepertinya banyak. Jika kita meniatkan meminta tolong untuk membagi beban, tak heran jika akhirnya banyak yang keberatan. Beban amanah sendiri saja sudah berat, ditambah yang lainnya. Pun ketika nanti di akhirat, hisab yang dilakukan atas nama diri sendiri, bukan partner kita. Maka klausul yang paling tepat memang untuk membantu kita lebih banyak mengingat Allah.

Teruntuk partner yang selama ini telah membersamai dalam lelah-lelah peluh dakwah. Maafkan jika aku terlalu banyak membuat berat karena beban yang seharusnya kubawa sendiri, kupaksa kalian juga yang membawanya. Aku baru menyadari bahwa tujuan kita berpartner sepertinya belum sesuai. Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki niat hati. Bolehkah aku memintamu kembali, sebagai divisi pengingat diri atas ayat-ayat ilahi? 

Tengah tahun ini rasanya waktu yang tepat buat merefleksi diri. Maaf untuk beribu kata yang tak pantas terucap. Maaf untuk ekspektasi yang terlalu tinggi. Maaf untuk diri yang suka berlepas dari tanggungjawab pribadi. Maaf untuk baper-baper yang tak terkendali. Besok-besok insyaallah ngga lagi. kalau terulang, minta tolong diingetin. 

Izinkan aku menandai mereka di tulisan ini: Azzam Izzudin, Khoirotun Nisa, Nelly Sekar PDA, Bagas Luhur Prabowo, Hafidz Assad, Yureni Agustina. Orang yang paling banyak mengingatkanku akan ayat-ayat Ilahi sepanjang tahun 2019 ini. Semoga Google mempertemukanmu dengan tulisan ini, atas jawaban kekepoanmu dengan diri sendiri. Wkwk. 

Adanya partner harus banyak-banyak disyukuri
Dengannya, kita akan banyak berdzikir
Kalau ia menyenangkan kita bisa lebih melesat lagi
Kalau menyebalkan, setidaknya kita bisa banyak-banyak istighfar
“Astaghfirullah, kamu tuh yaaaaa. Hzzz”
Wkwk.

200819

                              

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Baru Kali Ini.

Ya, baru kali ini dalam sejarah semua orang dirumahkan, pertemuan ditiadakan, sekolah-sekolah diliburkan. Kata ayah, ini kejadian pertama bahkan dalam sekian panjang umur hidupnya, atau bahkan umur kakek. Apa yang sebenarnya tengah terjadi? Wabah Covid-19 yang kontroversial ini mulai diwaspadai di Indonesia ketika umi dan yaya umroh bulan Januari lalu. Saat itu H-3 kepulangan. Bandara-bandara di Indonesia sudah mulai memasang thermal check. Aku kirimkan screenshot salah satu media yang aku baca “umi, yaya, pulangnya hati-hati ya.” aku kirimkan pesan singkat itu di grup keluarga. Sejak awal perbincanganku dengan teman-teman mengenai wabah ini, kita memang tidak pernah biasa memandangnya. Ini perkara serius yang harus ditangani segera.  Perkembangan setelah itu pesat sekali. Wacana publik yang berkembang di Indonesia, dari para ahli yang memperhitungkan banyak hal, hingga bumbu-bumbu politis dan kebijakan yang sampai hari ini belum terlihat titik terangnya. Rakyat disuguhi hi...

Cita-Citaku

Bicara soal masa anak-anak, pasti kita selalu dijarkan untuk membuat cita-cita. Dan kalo kita ingat lagi, rasanya dulu cita-cita kita suka berubah-ubah. Tergantung mood, pengetahuan, atau buah fikir lainnya. Aku pun begitu. Waktu aku kecil, aku punya cita-cita untuk menjadi dokter. Karena apa ya? Aku lupa. Seingatku, aku Cuma menganggap kalau profesi itu keren. Cukup. Soal dedikasi, profesi ini tidak perlu dipertanyakan lagi. Lama kelamaan, ketika sedikit dewasa, aku mulai paham bahwa profesi dokter bukan profesi yang mudah dicapai. Butuh perjuangan, bahkan hanya untuk masuk ke pendidikannya. Bukan hanya itu, uang yang harus disediakan pun tidak sedikit. Tak sampai hati rasanya untuk memaksakan   cita-cita ini ke umi yaya. Ah, lagipula nilaiku juga pas-pasan. Kalau memang masih mau nekat, mungkin dokter gigi saja. Masa SMP-SMA adalah masa pencarian. Berbagai profesi aku perhatikan. Aku sempat ingin jadi politisi. Salah satu hobiku ketika di pondok adalah baca Koran di pap...