Langsung ke konten utama

Don't Break the Chain


Ada suatu waktu dimana kita terinspirasi akan suatu hal, berusaha berubah setelahnya. Satu-dua hari tekat itu berhasil. Hari setelahnya, kita lupa lalu berkurang-berkurang, sampai kita semakin pesimis  akan tekat kita di awal. Kembalilah kita di kebiasaan sebelumnya. Akhirnya terbentuklah siklus males- terinspirasi- lupa- pesimis- males lagi (Hiyaa).

Image result for DONT BREAK THE CHAIN
Istiqomah ada kaitannya dengan habit. Habit, maknanya sebuah kebiasaan. Seseorang akan terbentuk sesuai kebiasaannya. Membentuk sebuah kebiasaan itu ngga gampang gais. Ada lika-liku yang harus ditempuh. Kalau kata pak Rhenald Kasali dalam bukunya self driving, ada peran mielin (atau simpelnya ingatan dalam tubuh kita) ketika kita membentuk sebuah kebiasaan. Jalur syaraf yang semakin sering digunakan dan distimulus membuat mielin pada syaraf tersebut menebal. Di awalnya kita akan memaksa-maksakan diri untuk membiasakan hal baru. Butuh repetisi dan keteguhan hati. Don’t break the chain. Setelah lewat 21 hari, ia akan ter-install di tubuh, kita jadi otomatis mengerjakannya. Begitupula dengan melalaikan. Ketika kita melalaikan satu hari, lalu diteruskan karena menjadi sebuah pembenaran (misal: aih, capek nih. Hari ni ngga sholat malem dulu deh), maka kebiasaan baik itu akan tergantikan oleh kelalaian dan kemalasan. (dan kadang yang namanya lalai lebih gampang nempel di diri kita. Astaghfirullah… Iya ngga sih? Hehe)

Oleh karenanya, Allah lebih suka hal kecil yang dilakukan secara istiqomah, dibanding hal besar yang dilaksanakan sekali saja. Benar kata peribahasa bahwa sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit.
Rosulullah pernah dimintai nasihat oleh salah seorang sahabat, yang dengan nasihat itu dia tidak perlu lagi bertanya-tanya kembali seumur hidupnya. Rosul menjawab ”Qul Amantu Billah Tsumma Istaqim” (Katakanlah, aku beriman kepada Allah, dan lalu bersikaplah istiqamah!). (H.R. Muslim). Iya, kalau iman sudah terus menerus ada di hati, buat apa minta nasihat lagi? :”)

Tapi nyatanya manusia memang tempat salah dan lupa. Iman kadang menanjak, kadang menukik tajam. Itulah kenapa kita butuh nasihat dari orang-orang sekitar kita. Untuk mengingatkan. Kadang kita tuh udah tau kalo obatnya musibah itu sabar. Selebrasinya nikmat itu syukur. Tapi kalau namanya lupa, ya gimana :”). makanya jangan sampai lupa. Kalo ada orang ngasih nasehat jangan sok pinter. Pengulangan materi kajian, atau temen ngeselin yang suka ngingetin (misal: skripsimu sampe mana? Wkwk) adalah hal yang perlu disyukuri, karena dengan merekalah kita dikembalikan ke hidup kita yang seharusnya (fitrah manusia kan jadi orang baik ya. Heheu)

Disiplin adalah salah satu cara mendidik diri
Istiqomah di jalan Allah, itulah yang kita cari
Dunia akan melunak ketika engkau keras mendidik diri
Sebaliknya, jangan salahkan ketika dunia ini terasa keras, karena kita lena akan kewajiban mendidik diri.
”Qul Amantu Billah Tsumma Istaqim”
240619

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antara Musa dan Harun

Terkisah dua sosok nabi yang berjuang di satu masa. Diturunkan di tengah masyarakat Bani Israil yang piawai berkelit dan berkeluh kesah. Melawan tirani Firaun yang keji dengan pasukan penyihir sakti mandraguna. Musa, sesosok bayi yang lolos dari genosida karena skenario Sang Maha. Diangkat anak oleh sosok paling keji di dunia sekaligus wanita yang disebut paling mulia. Kini bertarung dengan Ayah angkatnya. Allah katakan, serulah dengan qaulan layyinan. Lidahnya yang cedal menjadi kekurangan yang sangat menggengu dalam misinya menyeru pada agama. Betapa berat cobaannya, pengikutnya tak seberapa. Ia pinta Harun, saudaranya untuk menemani langkah perjuangan. Untuk apa? Bukan untuk mengurangi bebannya, melainkan sebagai partner untuk senantiasa mengingat tuhan-Nya. Iya, bukan sebagai tempat berkeluh kesah, menimpakan beban, atau bahkan untuk disalah-salahkan. Dalam kehidupan berorganisasi, tak jarang kita menemukan partner-partner dalam hidup. Beberapa cocok dan bisa bekerja ...

Baru Kali Ini.

Ya, baru kali ini dalam sejarah semua orang dirumahkan, pertemuan ditiadakan, sekolah-sekolah diliburkan. Kata ayah, ini kejadian pertama bahkan dalam sekian panjang umur hidupnya, atau bahkan umur kakek. Apa yang sebenarnya tengah terjadi? Wabah Covid-19 yang kontroversial ini mulai diwaspadai di Indonesia ketika umi dan yaya umroh bulan Januari lalu. Saat itu H-3 kepulangan. Bandara-bandara di Indonesia sudah mulai memasang thermal check. Aku kirimkan screenshot salah satu media yang aku baca “umi, yaya, pulangnya hati-hati ya.” aku kirimkan pesan singkat itu di grup keluarga. Sejak awal perbincanganku dengan teman-teman mengenai wabah ini, kita memang tidak pernah biasa memandangnya. Ini perkara serius yang harus ditangani segera.  Perkembangan setelah itu pesat sekali. Wacana publik yang berkembang di Indonesia, dari para ahli yang memperhitungkan banyak hal, hingga bumbu-bumbu politis dan kebijakan yang sampai hari ini belum terlihat titik terangnya. Rakyat disuguhi hi...

Cita-Citaku

Bicara soal masa anak-anak, pasti kita selalu dijarkan untuk membuat cita-cita. Dan kalo kita ingat lagi, rasanya dulu cita-cita kita suka berubah-ubah. Tergantung mood, pengetahuan, atau buah fikir lainnya. Aku pun begitu. Waktu aku kecil, aku punya cita-cita untuk menjadi dokter. Karena apa ya? Aku lupa. Seingatku, aku Cuma menganggap kalau profesi itu keren. Cukup. Soal dedikasi, profesi ini tidak perlu dipertanyakan lagi. Lama kelamaan, ketika sedikit dewasa, aku mulai paham bahwa profesi dokter bukan profesi yang mudah dicapai. Butuh perjuangan, bahkan hanya untuk masuk ke pendidikannya. Bukan hanya itu, uang yang harus disediakan pun tidak sedikit. Tak sampai hati rasanya untuk memaksakan   cita-cita ini ke umi yaya. Ah, lagipula nilaiku juga pas-pasan. Kalau memang masih mau nekat, mungkin dokter gigi saja. Masa SMP-SMA adalah masa pencarian. Berbagai profesi aku perhatikan. Aku sempat ingin jadi politisi. Salah satu hobiku ketika di pondok adalah baca Koran di pap...