Langsung ke konten utama

Cita-Citaku

Related image
Bicara soal masa anak-anak, pasti kita selalu dijarkan untuk membuat cita-cita. Dan kalo kita ingat lagi, rasanya dulu cita-cita kita suka berubah-ubah. Tergantung mood, pengetahuan, atau buah fikir lainnya. Aku pun begitu.

Waktu aku kecil, aku punya cita-cita untuk menjadi dokter. Karena apa ya? Aku lupa. Seingatku, aku Cuma menganggap kalau profesi itu keren. Cukup. Soal dedikasi, profesi ini tidak perlu dipertanyakan lagi. Lama kelamaan, ketika sedikit dewasa, aku mulai paham bahwa profesi dokter bukan profesi yang mudah dicapai. Butuh perjuangan, bahkan hanya untuk masuk ke pendidikannya. Bukan hanya itu, uang yang harus disediakan pun tidak sedikit. Tak sampai hati rasanya untuk memaksakan  cita-cita ini ke umi yaya. Ah, lagipula nilaiku juga pas-pasan. Kalau memang masih mau nekat, mungkin dokter gigi saja.

Masa SMP-SMA adalah masa pencarian. Berbagai profesi aku perhatikan. Aku sempat ingin jadi politisi. Salah satu hobiku ketika di pondok adalah baca Koran di papan. Berdiri berjam-jam pun aku kuat. Memperhatikan satu-satu kolom berita. Setelah itu mampir ke kamar kak dah, nusaibah, atau dapo untuk diskusi kecil-kecilan. Seru. Mereka juga suka membaca. Dari situ, masalah yang paling kita senangi untuk didiskusikan adalah masalah politik. Masalah Indonesia dan bahkan dunia. Kadang juga bahas kriminalitas sih (ini favoritnya dapo. Bahkan sampai pernah ia bercita-cita jadi kriminolog). Atau bahas HP terbaru ke kamar mbak icha (padahal ya, kita bawa HP pun gaplek-gaplek. Hehe). Apapun yang kami bicarakan, rasanya ujung-ujungnya berputar di ranah perpolitikan. Dari obrolan di meja kantin, hingga di kamar-kamar, rasanya renyah sekali jika bicara soal politik.

Ada lagi. Aku pernah bercita-cita menjadi guru TK. Rasanya senang sekali dikelilingi anak-anak. Disaat orang lain sibuk bekerja serius, guru TK bekerja sambil bermain. Enak kan? Hehe. Sebenarnya, disini role model yang aku ambil adalah umi. Ketika umi menceritakan segala hal tentang pertumbuhan anak, rasanya mataku berbinar-binar. Ah, betapa anak-anak adalah ladang yang sungguh gembur untuk ditanami berbagai macam pelajaran. Betapa anak adalah investasi terbesar sebuah bangsa. Bukankah sebuah kebanggaan merawat investasi-investasi itu? bahkan jikalau memang dari investasi tersebut bisa diambil untung yang banyak, keuntungan itu bukan buat guru-guru itu saja. Tapi untuk keluarganya, negaranya, dan agamanya. Tak jarang para guru tidak mendapatkan apapun kecuali pahala yang mengalir karena kebermanfaatan ilmunya. Betapa mulianya guru-guru TK ini bukan?

Masa kelas 3 SMA adalah masa krisis cita-cita dalam kehidupanku. Saat dimana harus memilih jurusan. Kadang berfikir untuk oportunis saja. Ah, bodo amat dengan cita-cita. Yang penting masuk universitas negeri. Tapi realitanya, kalau kuliah tidak berdasarkan minat, juga percuma. Berkali-kali aku mengembalikan pilihan dengan bertanya pada diri sendiri.  “sebenarnya, cita-citaku ini apa? Apa yang akan aku berikan dengan profesiku nanti?” aku memikirkan dari kemungkinan terbaik sampai terburuk. Dan akhirnya, menemukan suatu kesimpulan.

Kalau memang sampai aku tua dan meninggal ternyata dunia baik-baik saja, profesi apapun bisa aku lakukan dengan leluasa. Tapi pernahkah kamu membayangkan bahwa suatu saat dunia tidak baik-baik lagi? Entah bagaimana, dulu aku pernah berfikir –dan sampai sekarang- bahwa bukan tidak mungkin, keadaan damai tidak bisa dipertahankan lagi di atas dunia. Kita kembali ke jaman senjata dan perang. Atau kita dihadapkan pada keadaan bencana yang melumpuhkan seluruh aktifitas masyarakat dan membutuhkan waktu untuk dapat kembali ke keadaan semula. Satu pertanyaan yang saat itu terngiang di fikiranku “apa yang bisa aku lakukan?”. Beberapa temanku menertawakan. Ada juga yang langsung mengelus dada dan berguman naudzubillah. Tapi bagaimanapun, keadaan terburuk harus dipersiapkan.

Dan akhirya, ketika itu aku memutuskan untuk memilih bercita-cita menjadi dokter.

Lah sekarang kok di kebidanan? Wkwk.

Jangan khawatir, aku belum berhenti bercita-cita.
Kau tau, sekarang aku berfikir bagaimana caranya agar anak-anak di seluruh negri siap untuk menghadapi keadaan terburuk dalam hidupnya. Bagaimana cara mempersiapkan mereka bahkan dari sebelum mereka ada di dunia.

Bismillah, Aku yang akan mempersiapkan tentaranya.
14.03.18 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antara Musa dan Harun

Terkisah dua sosok nabi yang berjuang di satu masa. Diturunkan di tengah masyarakat Bani Israil yang piawai berkelit dan berkeluh kesah. Melawan tirani Firaun yang keji dengan pasukan penyihir sakti mandraguna. Musa, sesosok bayi yang lolos dari genosida karena skenario Sang Maha. Diangkat anak oleh sosok paling keji di dunia sekaligus wanita yang disebut paling mulia. Kini bertarung dengan Ayah angkatnya. Allah katakan, serulah dengan qaulan layyinan. Lidahnya yang cedal menjadi kekurangan yang sangat menggengu dalam misinya menyeru pada agama. Betapa berat cobaannya, pengikutnya tak seberapa. Ia pinta Harun, saudaranya untuk menemani langkah perjuangan. Untuk apa? Bukan untuk mengurangi bebannya, melainkan sebagai partner untuk senantiasa mengingat tuhan-Nya. Iya, bukan sebagai tempat berkeluh kesah, menimpakan beban, atau bahkan untuk disalah-salahkan. Dalam kehidupan berorganisasi, tak jarang kita menemukan partner-partner dalam hidup. Beberapa cocok dan bisa bekerja ...

Baru Kali Ini.

Ya, baru kali ini dalam sejarah semua orang dirumahkan, pertemuan ditiadakan, sekolah-sekolah diliburkan. Kata ayah, ini kejadian pertama bahkan dalam sekian panjang umur hidupnya, atau bahkan umur kakek. Apa yang sebenarnya tengah terjadi? Wabah Covid-19 yang kontroversial ini mulai diwaspadai di Indonesia ketika umi dan yaya umroh bulan Januari lalu. Saat itu H-3 kepulangan. Bandara-bandara di Indonesia sudah mulai memasang thermal check. Aku kirimkan screenshot salah satu media yang aku baca “umi, yaya, pulangnya hati-hati ya.” aku kirimkan pesan singkat itu di grup keluarga. Sejak awal perbincanganku dengan teman-teman mengenai wabah ini, kita memang tidak pernah biasa memandangnya. Ini perkara serius yang harus ditangani segera.  Perkembangan setelah itu pesat sekali. Wacana publik yang berkembang di Indonesia, dari para ahli yang memperhitungkan banyak hal, hingga bumbu-bumbu politis dan kebijakan yang sampai hari ini belum terlihat titik terangnya. Rakyat disuguhi hi...