Dulu berulang kali aku menangis karena beban ekspektasi.
Entah berapakali aku merasa, apa yang diamanahkan kepadaku bukan benar-benar
apa yang aku kuasai. Mereka menganggapku bisa. Mereka menganggapku luar biasa.
Dan akhirnya mereka menyadari bahwa aku hanya layaknya mahasiswa biasa. Bukan
seorang yang layak dijadikan ujung tombak. Diandalkan di bagian tengah. Hanya
sebagai pencair suasana. Dengan lingkungan yang seperti itu, aku bertanya.
Seharusnya aku ada dimana? Beberapa kali aku mempertanyakan. kenapa semuanya
terasa tidak maksimal. Sepertinya memang aku yang salah. Amanah yang ada belum
bisa aku optimalkan hingga mencapai kebermanfaatan yang paripurna.
Aku tidak dibiarkan berhenti begitu saja. 2018, amanah yang
lebih besar Allah berikan sebagai pelajaran. Sejujurnya, sampai hari ini aku
belum bisa mencerna, apa yang Allah hikmahkan dibalik ini semua? Kalau aku
diijinkan untuk protes, mungkin aku bisa bilang bahwa ini bukan bidang yang aku
suka, bukan bidang yang aku bisa. Ditambah dengan kesibukan akademik yang
menyita waktu dari pagi hingga petang. Ada banyak tanggungan moral yang juga
harus bisa diselesaikan. Pertanyaanku kali ini berbeda. Tidak lagi soal
ekspektasi orang-orang yang aku rasakan berlebihan. Tapi apakah aku benar-benar
dipilih karena aku orang yang pantas? Atau karena memang pilihan yang terbatas?
Aku kah yang terlalu mengkerdilkan diri? Aku kah yang manja
dan terus menunggu orang lain untuk terus mengerti? Atau aku memang belum bisa
sendirinya meng-upgrade diri?Iya. Mungkin iya. Beberapa kali kecewa, jatuh,
tapi rasanya tidak ada orang yang bisa diajak berbagi cerita. Rasanya hari ini
puncaknya. Saat dimana aku merasa belum bisa melebarkan kapasitas padahal beban
terus bertambah berat. Saat dimana keaadaaan terus menghimpit, sedangkan aku
dituntut untuk terus bergerak. Saat dimana aku merasa butuh waktu lebih dari 24
jam dalam sehari untuk menyelesaikan semua pekerjaan.
Hari ini, sebenarnya
hari yang sama dengan hari-hari lainnya. Hanya aku memang sedang suntuk dan
butuh pulang lebih cepat. Mungkin. Di sore yang sama dengan hari-hari
sebelumnya. Di motor lusuh yang sama kutumpangi setiap harinya. Di tanjakan
yang familiar rodaku berputar di atasnya. Dengan dzikir harian sore yang biasa
kubaca sambil berkendara. Aku terhenyak dengan sepotong ayat yang sudah pasti
tidak biasa “laa yukallifullahu nafsan
illa wus’aha”.
Allah masih sangat sayang dengan hamba-Nya yang cengeng ini.
Aku diingatkan dengan begitu lembutnya. Tak peduli betapa berat beban yang aku
rasakan, Allah sudah berjanji bahwa memang beban itu dapat kuatasi. Sudah,
runtuhlah ego dengan tetes-tetes air mata.
“ya tuhan kami,
janganlah engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana engkau
bebankan kepada orang-orang sebelum kami, janganlah engkau pikulkan kepada kami
apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan
rahmatilah kami.”
Dinda, tugasmu sekarang bukan mengeluh dan banyak
berprasangka. bukan cemberut dan bermuram durja. Tataplah kedepan, banyak hal
yang tidak selesai hanya dengan meributkan masalah ketidaknyamanan hati.
Tengoklah ke samping, ada rekan sejawat, sahabat, dan saudara yang harus kau
samakan ritme langkahnya untuk sebaik-baiknya menyelesaikan amanah ini. Jangan
lupakan mereka yang di belakangmu. Orang-orang yang tidak hentinya mensupporrt
dengan kasih sayang yang tidak henti-hentinya. Letakkan keningmu di bawah,
ingatlah rahmat-Nya, harapkanlah ridha-Nya, pintalah kekuatan pada-Nya.
Terakhir, jangan lupa makan. Amanah besar, butuh tenaga
besar juga kan?
Jangan menyerah
Bukankah Allah tidak
pernah mengingkari janji-Nya?
02.09.2018
halo mba Alsa,
BalasHapusgatau kenapa hari ini tiba" buka account instagramnya mbak hehe mungkin saya terlalu gabut..
lalu membaca seluruh tulisan mba Alsa di blog ini,
dari keadaan yg saya ga relate sm sekali saja saya sampai menitikkan air mata :") terima kasih ya mbak, hari ini saya diingatkan untuk selalu merefleksi diri..
jangan berhenti menulis mbak, saya jatuh cinta banget sama tulisan" mba Alsa😊❤️