Ya, baru kali ini dalam sejarah semua orang dirumahkan,
pertemuan ditiadakan, sekolah-sekolah diliburkan. Kata ayah, ini kejadian
pertama bahkan dalam sekian panjang umur hidupnya, atau bahkan umur kakek. Apa yang
sebenarnya tengah terjadi?
Wabah Covid-19 yang kontroversial ini mulai diwaspadai di Indonesia
ketika umi dan yaya umroh bulan Januari lalu. Saat itu H-3 kepulangan. Bandara-bandara
di Indonesia sudah mulai memasang thermal check. Aku kirimkan screenshot salah
satu media yang aku baca “umi, yaya, pulangnya hati-hati ya.” aku kirimkan
pesan singkat itu di grup keluarga. Sejak awal perbincanganku dengan
teman-teman mengenai wabah ini, kita memang tidak pernah biasa memandangnya. Ini
perkara serius yang harus ditangani segera.
Perkembangan setelah itu pesat sekali. Wacana publik yang
berkembang di Indonesia, dari para ahli yang memperhitungkan banyak hal, hingga
bumbu-bumbu politis dan kebijakan yang sampai hari ini belum terlihat titik
terangnya. Rakyat disuguhi hidangan yang membuat ragu, cemas, dan was-was. Banyak
orang punya previlege untuk tinggal di rumah, lebih banyak lagi yang tetap
harus bergerilya di jalanan. Bertaruh, antara mati karena wabah atau karena
kelaparan. Sementara orang-orang yang memiliki kuasa –entah kebingungan, entah
apa yang diinginkan- belum juga muncul menawarkan solusi yang nyata. Akhirnya,
berbagai elemen masyarakat bahu-membahu membantu. Sekarang bukan saatnya sibuk saling
menyalahkan, tanpa adanya tindakan.
Tidak-tidak, aku bukan akan menulis tentang kebijakan,
prediksi para ahli, atau influencer yang sedang saling galang bantuan. Aku berikan
apresiasi setinggi-tingginya untuk semua orang yang peduli dan mau bergerak. Aku
hanya ingin menawarkan sudut pandang yang aku geluti. Sudut pandang dari rumah-rumah kita.
Terhitung dari hari ini, tiga pekan sudah semua sekolah
diliburkan, anak-anak belajar dari rumah. Membuat orangtua kalang-kabut, karena
bukan hanya pekerjaannya saja yang dibawa ke rumah, tapi juga seluruh kegiatan
sekolah. Sudah 3 bulan aku berprofesi sebagai guru pengajar di salah satu
lembaga pembelajaran Al-Qur’an. kelasku, rata-rata diisi oleh anak kelas 3 SD
yang masih di ambang, antara mereka “merasa” sudah besar, tapi sebenernya ngga
juga. Hehehe. Berbagai kenakalan, dari eyel-eyelan sampai pertengkaran antara
mereka yang sok dewasa sering jadi problem ketika tatap muka sehari-hari. Ketika
semuanya pindah kerumah, ada banyak adaptasi yang kami lakukan. Mulai dari
teleconference, untuk menjaga hafalan dan emosi positif antara kami dengan
anak-anak, chatting dengan orangtua wali murid adalah keseharian yang tidak
bisa dilepaskan di tiga pekan ini. berulang kali orangtua meminta maaf karena
target sekolah tidak tercapai selama pembelajaran di rumah. Beberapa mengeluhkan
anaknya yang moody dan sulit diajak belajar. Beberapa lagi bersyukur, anaknya
sudah bisa menyiapkan semua kebutuhan pembelajarannya dengan mandiri, bahkan
membantu adiknya. Rata-rata apa yang dilaporkan sesuai dengan kebiasaan belajar
anaknya di sekolah. Ibu-ibu dan para ayah yang biasanya pulang-pergi
meninggalkan rumah, kali ini sepenuhnya mendampingi ananda di rumah.
Adaptasi. Semua orang tua mengalaminya. Baik yang sedang
bekerja di rumah, maupun tetap harus bekerja di luar. Dari seluruh adaptasi
ini, ada satu hal yang membuat aku trenyuh.
Kejadian ini membuat kita harus mengenal orang-orang
terdekat. Hadir dengan versi yang paling original. Bagi yang bekerja di rumah,
anak-anak akan tau apa saja yang dikerjakan orang tuanya selama di luar rumah,
begitupun sebaliknya. Tabiat belajar anak-anak di sekolah akan terlihat selama
pembelajaran di rumah. Mereka yang bekerja di luar rumah, ketika pulang
dituntut untuk membersihkan seluruh badan dari aroma dunia luar, cuci tangan,
mengganti pakaian segera dan mencucinya. Seakan-akan menggambarkan, sejauh
apapun kamu pergi, pulanglah tanpa membawa apapun gelar yang orang-orang
sematkan di luar rumah. Pulanglah dengan kondisi terbersih, menjadi sosok
hangat yang sepenuhnya dimiliki oleh keluarga kecilmu. Karena di saat tersulit,
keluargamu, rumahmu, adalah benteng terakhir.
Dengan kondisi original ini, terlihat sudah. Seberapa siapkah
seluruh elemen untuk menghadapi masa-masa tersulitnya?
Wabah ini menuntut semuanya kembali kepada struktur alamiah.
Manusia berkelompok dengan keluarga dan lingkaran terdekatnya, bumi bernafas
sejenak dari derivat industri yang melelahkan, semua elemen saling membantu
mengutamakan kemanusiaan –jika akalnya masih sehat-.
Di pekan ketiga ini,
apapun hasil belajarnya aku tak peduli
“ndak papa bun” jadi
teks yang paling sering ku ketik
Ananda hanya sedang
pulang seutuhnya
Kembali ke madrasah
pertama
Biar segala gundah dan
kesah jadi sejarah
Nanti, biar ananda bisa
ceritakan ke anak cucunya
Saat wabah besar, ayah
bunda tetap ada di sisinya.
050420
Komentar
Posting Komentar