Langsung ke konten utama

Memilih kisah sejarah


Dari kecil aku senang membaca cerita sejarah. Meskipun nilai mata pelajaran sejarah ngga pernah sempurna 100 karena aku selalu gagal menghafalkan tanggal-tanggal atau terkadang nama-nama yang asing di telinga. Tapi pada dasarnya, aku senang membaca dan mendengarkan cerita orang. Ada rasa, karsa, dan imaji yang bermain dalam otakku ketika aku menikmatinya. 

Pernahkah kamu bayangkan? Bagaimana sejarah itu sampai bisa ditulis? Seorang pangeran gagah perkasa Diponegoro menuliskan babad nya sendiri -Autobiografi-. Maka apa yang dilihat, dirasa, didengar, itulah yang menjadi salah satu sumber sejarah yang hari ini kita pelajari sebagai perang Jawa. Tapi, coba kita bayangkan ketika seorang penjajah belanda yang menuliskan apa yang dilihatnya. Maka pejuang kita yang hari ini disematkan gelar pahlawan, pada hari itu akan dituliskan sebagai pemberontak. Raja yang arif bijaksana tegas melawan penjajah, maka akan dituliskan sebagai raja lalim yang sewenang-wenang karena tidak menguntungkan kepentingan penjajahan. 

Lalu, ketika keduanya datang kepadamu membawakan satu fakta dari dua sudut pandang yang berbeda, apa yang akan kamu lakukan? Cerita mana yang akan kamu percaya?

Sayangnya, dengan berbagai keterbatasan ilmu kita, hari ini kita membaca sejarah dari buku-buku yang mungkin kita tidak ketahui darimana ia berkata. Dalam ilmu hadits, ada kriteria sanad yang bisa dipercaya. Dari sanalah sebuah kabar dapat ditentukan benar-salahnya, shahih-dhaif nya. Di kaidah sejarah ini mungkin saja ada, tapi Sanadnya terkadang tidak bisa kita pelajari secara gamblang di buku yang sehari-hari kita pegang di kelas-kelas. Satu hal yang penting dalam membaca sejarah. Untuk mengambil apinya, kita perlu mengenal baik-baik siapa diri kita.  Jati diri kebangsaan, rasa cinta tanah air, dan semangat bela negara, membuat kita faham bahwa pahlawan akan selalu jadi pahlawan walaupun catatan penjajah menyebutnya sebagai kaum bar-bar. Di sisi itulah kita memilih kisah sejarah. 

Menjiwai kisah sejarah membuat kita memahami apa yang harus kita lakukan di hari ini untuk membuat ukiran di masa depan. Ada sebuah ungkapan yang sering kudengar bahwa sejarah akan terus berulang. Sejarah adalah cara kita mempelajari masa depan sebelum terjadinya. Maka seperti bagaimana kita memilih kisah sejarah, sikap dan sudut pandang kita hari ini jangan sampai lepas dari jati diri dan identitas kita. 

Semenjak lahir, kita sudah memiliki identitas diri
Aku terlahir di tanah air tercinta indonesia
ridho dengan Islam sebagai agama
Maka tidak masalah jika sudut pandang yang aku berikan
mengacu pada identitas dan nilai yang aku punya
Ada yang ingin mempermasalahkan?
Atau ada yang mau bilang “jangan bawa-bawa agama”?
060220

                              

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antara Musa dan Harun

Terkisah dua sosok nabi yang berjuang di satu masa. Diturunkan di tengah masyarakat Bani Israil yang piawai berkelit dan berkeluh kesah. Melawan tirani Firaun yang keji dengan pasukan penyihir sakti mandraguna. Musa, sesosok bayi yang lolos dari genosida karena skenario Sang Maha. Diangkat anak oleh sosok paling keji di dunia sekaligus wanita yang disebut paling mulia. Kini bertarung dengan Ayah angkatnya. Allah katakan, serulah dengan qaulan layyinan. Lidahnya yang cedal menjadi kekurangan yang sangat menggengu dalam misinya menyeru pada agama. Betapa berat cobaannya, pengikutnya tak seberapa. Ia pinta Harun, saudaranya untuk menemani langkah perjuangan. Untuk apa? Bukan untuk mengurangi bebannya, melainkan sebagai partner untuk senantiasa mengingat tuhan-Nya. Iya, bukan sebagai tempat berkeluh kesah, menimpakan beban, atau bahkan untuk disalah-salahkan. Dalam kehidupan berorganisasi, tak jarang kita menemukan partner-partner dalam hidup. Beberapa cocok dan bisa bekerja ...

Baru Kali Ini.

Ya, baru kali ini dalam sejarah semua orang dirumahkan, pertemuan ditiadakan, sekolah-sekolah diliburkan. Kata ayah, ini kejadian pertama bahkan dalam sekian panjang umur hidupnya, atau bahkan umur kakek. Apa yang sebenarnya tengah terjadi? Wabah Covid-19 yang kontroversial ini mulai diwaspadai di Indonesia ketika umi dan yaya umroh bulan Januari lalu. Saat itu H-3 kepulangan. Bandara-bandara di Indonesia sudah mulai memasang thermal check. Aku kirimkan screenshot salah satu media yang aku baca “umi, yaya, pulangnya hati-hati ya.” aku kirimkan pesan singkat itu di grup keluarga. Sejak awal perbincanganku dengan teman-teman mengenai wabah ini, kita memang tidak pernah biasa memandangnya. Ini perkara serius yang harus ditangani segera.  Perkembangan setelah itu pesat sekali. Wacana publik yang berkembang di Indonesia, dari para ahli yang memperhitungkan banyak hal, hingga bumbu-bumbu politis dan kebijakan yang sampai hari ini belum terlihat titik terangnya. Rakyat disuguhi hi...

Cita-Citaku

Bicara soal masa anak-anak, pasti kita selalu dijarkan untuk membuat cita-cita. Dan kalo kita ingat lagi, rasanya dulu cita-cita kita suka berubah-ubah. Tergantung mood, pengetahuan, atau buah fikir lainnya. Aku pun begitu. Waktu aku kecil, aku punya cita-cita untuk menjadi dokter. Karena apa ya? Aku lupa. Seingatku, aku Cuma menganggap kalau profesi itu keren. Cukup. Soal dedikasi, profesi ini tidak perlu dipertanyakan lagi. Lama kelamaan, ketika sedikit dewasa, aku mulai paham bahwa profesi dokter bukan profesi yang mudah dicapai. Butuh perjuangan, bahkan hanya untuk masuk ke pendidikannya. Bukan hanya itu, uang yang harus disediakan pun tidak sedikit. Tak sampai hati rasanya untuk memaksakan   cita-cita ini ke umi yaya. Ah, lagipula nilaiku juga pas-pasan. Kalau memang masih mau nekat, mungkin dokter gigi saja. Masa SMP-SMA adalah masa pencarian. Berbagai profesi aku perhatikan. Aku sempat ingin jadi politisi. Salah satu hobiku ketika di pondok adalah baca Koran di pap...