Langsung ke konten utama

Balasan Tulisan: Mba Uci Putri Maulida, Kau Melukis Aku


Hari ini, aku iseng. Nuliskan nama di kolom pencarian. Kamu pernah gitu juga kan? Wkwk. biasanya aku nulis salsabila yasmin dan muncul banyak orang dengan nama yang sama. Baru hari ini aku nyoba nulis alsa yasmin. Ngga nyangka, muncullah satu tulisan dari satu blog punya kakak tingkatku. Judulnya, [Adikku sudah besar: Si cantik Alsa Yasmin]. Karena penasaran, aku klik lah. 

Mbak, sejujurnya mbak berlebihan. Aku ngga cantik kok. Wkwk. apalagi isi tulisannya. Masyaallah. Sejujurnya yang aku jalani selama di perkuliahan bukanlah hal yang aku minta. Berulang kali aku mengeluh. Ngga terhitung berapa kali juga aku menangis. Gitu emang ya manusia. Sukanya ngga bersyukur. heu. Sejujurnya ada banyak momen yang aku sia-siakan.

Dibalik semua kekaguman mbak yang semu, aku lebih kagum lagi dengan mbak yang entah berapa kali aku jadikan objek ngambek. Dicuekin, bahkan mba uci adalah salah satu kakak senior yang berani aku marahin. Wkwk. tapi mbak ngga pernah balik marah ke aku. Sabaar banget. Tetep ngasih nasihat, tetep mau nge cup-cup kalo aku nangis. Mba yang gaje dan suka sekali naruto wkwk.
Mba yang akademiknya sibuk banget. Tapi tetep menyempatkan waktu buat mikirin adek-adeknya. Inget banget semasa mbak awal koas dan kita butuh ketemu, mba bela-belain mlipir ke musholla RSSA Cuma buat ngobrol. Padahal mba lagi di stase yang padet. Belakangan aku tau, ternyata di tengah hectic nya koas, mba masih nelponin orang sana-sini memastikan pemenuhan kebutuhanku yang waktu itu mau mencalonkan diri jadi DPM di PEMIRA. Aku tau banget mba orangnya super-duper ambis di akademik, tapi mbak masih perhatian banget buat nemeni kita. 

Mba, kalau boleh jujur, sebenernya aku takut. Aku takut bahwa gelombang kepedulian ini berhenti. Bisakah adek-adek kita nanti melanjutkannya? Aku takut jadi kakak yang gagal mewariskan nilai. Nilai-nilai pengorbanan, ketulusan, ketahanan akan cobaan. Lebih dari itu, seharusnya aku mewariskan api di hati mereka. Api semangat yang hidup karena ketaatan pada Tuhannya. Api yang hidup karena merasa terusik nuraninya akan permasalahan moral di sekelilingnya. Akankah adek-adek kita nanti jadi pribadi yang tulus mengabdikan diri, atau malah terlalu rumit karena belum selesai dengan dirinya sendiri?

Ah kangen, ngga terasa memang aku sudah besar mba. Satu per satu mbak-mbak dan mas-mas meninggalkan masa kampusnya. Ada yang masih di malang, lebih banyak yang pulang atau kerja di tempat lain. Rasanya sedih ketika mendengar kabar satu persatu pamit meninggalkan Malang. Ada mba Safda Riva R. D. W. S yang always strong, tegas, dan apa adanya. Ada mba Sarah Dewiyanti yang alus tapi selalu ngena. Ada bang Jihadul Akbar yang ngeselin tapi taktis dan solutif (iya ngga ya..). ada mba Inas Khoirun Nisa yang imut dan asik bet diajak ngobrol. Ada mas Fajri Rahman yang telaten bet nemeni kapanpun dimanapun. Ada juga mba Shofura Hanifah yang selalu jadi tempat sambatan hati. Ada banyak lagi yang gabisa aku sebutin satu-satu. Makasih mba-mas. Kau melukis aku. Sengaja aku ketik nama lengkap biar suatu hari -yang entah kapan- muncul di browser kalo pas iseng cari nama sendiri. Wkwkwk.

Mba, mas, gini ya dilematika mahasiswa tua
Takut menyesali masa lalu
Ragu melangkah untuk hari esok
Padahal keduanya bukan milik kita
Yang kita miliki hanya hari ini
Hanya itu yang bisa kita perjuangkan
Iya kan?
 250719

Karena gaada foto bareng mba uci, aku upload bareng senior yg lain gapapa yaa wkwk


                              

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antara Musa dan Harun

Terkisah dua sosok nabi yang berjuang di satu masa. Diturunkan di tengah masyarakat Bani Israil yang piawai berkelit dan berkeluh kesah. Melawan tirani Firaun yang keji dengan pasukan penyihir sakti mandraguna. Musa, sesosok bayi yang lolos dari genosida karena skenario Sang Maha. Diangkat anak oleh sosok paling keji di dunia sekaligus wanita yang disebut paling mulia. Kini bertarung dengan Ayah angkatnya. Allah katakan, serulah dengan qaulan layyinan. Lidahnya yang cedal menjadi kekurangan yang sangat menggengu dalam misinya menyeru pada agama. Betapa berat cobaannya, pengikutnya tak seberapa. Ia pinta Harun, saudaranya untuk menemani langkah perjuangan. Untuk apa? Bukan untuk mengurangi bebannya, melainkan sebagai partner untuk senantiasa mengingat tuhan-Nya. Iya, bukan sebagai tempat berkeluh kesah, menimpakan beban, atau bahkan untuk disalah-salahkan. Dalam kehidupan berorganisasi, tak jarang kita menemukan partner-partner dalam hidup. Beberapa cocok dan bisa bekerja ...

Baru Kali Ini.

Ya, baru kali ini dalam sejarah semua orang dirumahkan, pertemuan ditiadakan, sekolah-sekolah diliburkan. Kata ayah, ini kejadian pertama bahkan dalam sekian panjang umur hidupnya, atau bahkan umur kakek. Apa yang sebenarnya tengah terjadi? Wabah Covid-19 yang kontroversial ini mulai diwaspadai di Indonesia ketika umi dan yaya umroh bulan Januari lalu. Saat itu H-3 kepulangan. Bandara-bandara di Indonesia sudah mulai memasang thermal check. Aku kirimkan screenshot salah satu media yang aku baca “umi, yaya, pulangnya hati-hati ya.” aku kirimkan pesan singkat itu di grup keluarga. Sejak awal perbincanganku dengan teman-teman mengenai wabah ini, kita memang tidak pernah biasa memandangnya. Ini perkara serius yang harus ditangani segera.  Perkembangan setelah itu pesat sekali. Wacana publik yang berkembang di Indonesia, dari para ahli yang memperhitungkan banyak hal, hingga bumbu-bumbu politis dan kebijakan yang sampai hari ini belum terlihat titik terangnya. Rakyat disuguhi hi...

Cita-Citaku

Bicara soal masa anak-anak, pasti kita selalu dijarkan untuk membuat cita-cita. Dan kalo kita ingat lagi, rasanya dulu cita-cita kita suka berubah-ubah. Tergantung mood, pengetahuan, atau buah fikir lainnya. Aku pun begitu. Waktu aku kecil, aku punya cita-cita untuk menjadi dokter. Karena apa ya? Aku lupa. Seingatku, aku Cuma menganggap kalau profesi itu keren. Cukup. Soal dedikasi, profesi ini tidak perlu dipertanyakan lagi. Lama kelamaan, ketika sedikit dewasa, aku mulai paham bahwa profesi dokter bukan profesi yang mudah dicapai. Butuh perjuangan, bahkan hanya untuk masuk ke pendidikannya. Bukan hanya itu, uang yang harus disediakan pun tidak sedikit. Tak sampai hati rasanya untuk memaksakan   cita-cita ini ke umi yaya. Ah, lagipula nilaiku juga pas-pasan. Kalau memang masih mau nekat, mungkin dokter gigi saja. Masa SMP-SMA adalah masa pencarian. Berbagai profesi aku perhatikan. Aku sempat ingin jadi politisi. Salah satu hobiku ketika di pondok adalah baca Koran di pap...