Langsung ke konten utama

Selamat Jalan Kawan!


2015, sekitar 4 tahun yang lalu aku menemukanmu. Hmm, Mungkin lebih tepatnya kita saling menemukan. Di taman Slamet. Aku belum tau sama sekali wajah-wajahmu. yang aku fahami, kita harus bertemu. Satu angkatan 90 orang -Terimakasih panitia osjur-. Dalam proses mendiskusikan pertemuan itu, kita saling melempar ide tanpa ada yang mengatur. Sedikit usahaku untuk berani memutuskan tempat dan waktu tampaknya bisa membantu. Hari itu foto bersama kita yang pertama. Belum lengkap memang, karena berbagai kendala. Sayang sekali, hari ini aku lupa menaruh fotonya dimana. 

Masa-masa ospek kita lalui bersama. Masih ingat, tepat setelah kita berfoto di taman slamet. KPU paling canggih langsung terbentuk ketika kita dituntut untuk memiliki ketua angkatan. Pemilihan dilakukan melalui grupchat line. Mungkin itu salah satu sebab fitur vote diadakan. Karena kita yang menginisiasinya wkwk. Kuceritakan prosesnya ketika aku screening staff muda EM, inget banget sekjen masa itu –Bang Ijal- tertawa. Katanya “wah, hebat ya bisa mengkoordinir pemilihan lewat line. Wkwkwk”.

Mungkin itu adalah kesalahan angkatan yang pertama. Memilih seorang aku menjadi ketua. Hahaha. Heeei, kalian ingat? Motivasiku paling pendek dan abstrak. Calon yang lain bahkan di-skrinsut berlembar-lembar. Kok bisa gitu aku dipilih? Aku sebenernya juga terheran-heran. Hmmm bisa ngga ya aku memimpin sekian banyak orang? Waktu itu fikirku sederhana, aku mau hanya karena ada yang percaya.

Sebenarnya selama 4 tahun ini peranku ngga banyak. Cuma berfungsi di saat ospek sampai staff magang aja. Selepasnya, satu persatu memimpin bergantian. Komting-komting dengan berbagai karakternya. Ada juga yang jadi BPH PENMAS. Tahun berikutnya, keputusan besar kita ambil ketika memberanikan diri mengambil peran menjadi kapel Dekan Cup. Kapel perempuan pertama, menghancurkan stereotip umum. Pembuktian kualitas bahwa kita bisa. Yang jadi BPH di BEM juga banyak, pun LSO lain. Tahun ketiga, ada juga yang jadi BPH EM. Yang mengharukan lagi, bahkan temanku ada yang jadi mawapres utama UB :”). Roda berjalannya himpunan-pun semakin terasa ketika kita menjabat. Aku sungguh tidak berbuat apa-apa. Kebidanan 2015 begini adanya. 

Kalian yang selalu bangunin aku ketika kelelahan dan akhirnya tertidur di kelas. Kalian yang selalu nanyain aku ketika ambil jatah bolos dan lupa belum memberi kabar (di kelasku aib ketika titip absen. Lebih baik jujur dan ambil jatah. ehe). Kalian yang selalu jarkom di grup meskipun sudah dibilang bahwa semua wajib melihat di web akademik kebidanan. Kalian yang suka ribut-ribut di grup, baper-baperan… hm akhirnya sampai di fase ini juga. 

Terimakasih sudah percaya :) kalian yang pertamakali memberiku kepercayaan, bahkan hingga hari ini. Maafkan aku yang belum bisa menjadi teladan. Motivasiku yang saat itu juga menjadi sebuah visi ternyata sudah tuntas. Iya, kemajemukan kita benar-benar memajukan almamater tercinta :”)

Bukan aku yang hebat. Kalian yang melakukannya. Organik.

Sekarang, kita dihadapkan pada berbagai pilihan yang ada. Apa yang kita pilih hari ini akan banyak menentukan masa depan kita. Apapun jalan yang kita pilih -profesi, menunda, atau tidak-, aku akan selalu mendukung dengan setia. Karena aku percaya dan kalian membuktikannya. Kita memang diciptakan berbeda. Dari setiap usaha yang dilakukan, Allah punya rahasia untuk setiap kita. Iya, kita masih sama-sama berjuang. Prinsipnya, Jadilah seperti mata air bagi segenap manusia. Jernihkan akal, perilaku dan budi kita. Insyaallah, hal itu yang nantinya akan dibutuhkan masyarakat dimanapun kalian berada.

Selamat yudisium kawan!

Selamat jalan!

Buat kita (iya kita, wkwk) yang belum yudisium, jangan menyerah. Aku masih disini juga kok. Ayo berjuang bersama. Tetap, jangan lupa bahagia. 

Mungkin setelah ini kita akan semakin jarang bersua
Tak ada lagi kelas-kelas riuh setiap harinya
Tapi, bisakah aku minta riuhkan langit dengan doa-doa?

Yudisium gelombang I
Kebidanan 2015
210619


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antara Musa dan Harun

Terkisah dua sosok nabi yang berjuang di satu masa. Diturunkan di tengah masyarakat Bani Israil yang piawai berkelit dan berkeluh kesah. Melawan tirani Firaun yang keji dengan pasukan penyihir sakti mandraguna. Musa, sesosok bayi yang lolos dari genosida karena skenario Sang Maha. Diangkat anak oleh sosok paling keji di dunia sekaligus wanita yang disebut paling mulia. Kini bertarung dengan Ayah angkatnya. Allah katakan, serulah dengan qaulan layyinan. Lidahnya yang cedal menjadi kekurangan yang sangat menggengu dalam misinya menyeru pada agama. Betapa berat cobaannya, pengikutnya tak seberapa. Ia pinta Harun, saudaranya untuk menemani langkah perjuangan. Untuk apa? Bukan untuk mengurangi bebannya, melainkan sebagai partner untuk senantiasa mengingat tuhan-Nya. Iya, bukan sebagai tempat berkeluh kesah, menimpakan beban, atau bahkan untuk disalah-salahkan. Dalam kehidupan berorganisasi, tak jarang kita menemukan partner-partner dalam hidup. Beberapa cocok dan bisa bekerja ...

Baru Kali Ini.

Ya, baru kali ini dalam sejarah semua orang dirumahkan, pertemuan ditiadakan, sekolah-sekolah diliburkan. Kata ayah, ini kejadian pertama bahkan dalam sekian panjang umur hidupnya, atau bahkan umur kakek. Apa yang sebenarnya tengah terjadi? Wabah Covid-19 yang kontroversial ini mulai diwaspadai di Indonesia ketika umi dan yaya umroh bulan Januari lalu. Saat itu H-3 kepulangan. Bandara-bandara di Indonesia sudah mulai memasang thermal check. Aku kirimkan screenshot salah satu media yang aku baca “umi, yaya, pulangnya hati-hati ya.” aku kirimkan pesan singkat itu di grup keluarga. Sejak awal perbincanganku dengan teman-teman mengenai wabah ini, kita memang tidak pernah biasa memandangnya. Ini perkara serius yang harus ditangani segera.  Perkembangan setelah itu pesat sekali. Wacana publik yang berkembang di Indonesia, dari para ahli yang memperhitungkan banyak hal, hingga bumbu-bumbu politis dan kebijakan yang sampai hari ini belum terlihat titik terangnya. Rakyat disuguhi hi...

Cita-Citaku

Bicara soal masa anak-anak, pasti kita selalu dijarkan untuk membuat cita-cita. Dan kalo kita ingat lagi, rasanya dulu cita-cita kita suka berubah-ubah. Tergantung mood, pengetahuan, atau buah fikir lainnya. Aku pun begitu. Waktu aku kecil, aku punya cita-cita untuk menjadi dokter. Karena apa ya? Aku lupa. Seingatku, aku Cuma menganggap kalau profesi itu keren. Cukup. Soal dedikasi, profesi ini tidak perlu dipertanyakan lagi. Lama kelamaan, ketika sedikit dewasa, aku mulai paham bahwa profesi dokter bukan profesi yang mudah dicapai. Butuh perjuangan, bahkan hanya untuk masuk ke pendidikannya. Bukan hanya itu, uang yang harus disediakan pun tidak sedikit. Tak sampai hati rasanya untuk memaksakan   cita-cita ini ke umi yaya. Ah, lagipula nilaiku juga pas-pasan. Kalau memang masih mau nekat, mungkin dokter gigi saja. Masa SMP-SMA adalah masa pencarian. Berbagai profesi aku perhatikan. Aku sempat ingin jadi politisi. Salah satu hobiku ketika di pondok adalah baca Koran di pap...