Langsung ke konten utama

Perilaku Menyenangkan

Hari ini semua mahasiswa semester 8 ke atas yang belum menyelesaikan tugas akhirnya dipanggil. “Evaluasi Tugas Akhir (TA)” iya, judul jarkomnya seperti itu. Nama agenda itu cukup menjadi momok menyeramkan bagi kami yang belum berprogres. Yaaah termasuk aku. Wkwk. terlebih, salah satu dosbing ku adalah koordinator TA yang akan mengevaluasi seluruh progres tugas akhir mahasiswa. Yah, masa bimbingannya sendiri bermasalah. Malu sekali kalau dipikir-pikir. 

Tau berapa lama sudah aku ngga konsul sama dosbing ku? 1 TAHUN! Tau kan ya gimana deg-degannya aku. Akankah aku dimarahi? Akankah aku dicoret dari daftar bimbingan? Fikiranku melayang entah kemana. Sebelum masuk kelas, aku berdoa dulu. Doa nabi Musa. Supaya nanti kalau ditanya-tanya ngga belibet jawabnya. Wkwk. iya, setahun kebelakang aku belum bisa membagi waktu dengan baik antara organisasi, kelas, dan tugas akhir. Ketentuan di prodiku tugas akhir masih harus dibarengi dengan paket kelas yang sudah ditentukan dari kurikulum awal. Kami harus lulus 8 semester jika ingin mengambil profesi tepat waktu. Itulah kenapa tugas akhir rasanya beraaat sekali.

Ada 2 dosen yang hari ini mengevaluasi. Satu, dosen koordinator akademik, yang kedua koordinator TA (dosbing ku). Satu persatu dipanggil namanya. Ditanya sampai mana tugas akhirnya. Beberapa kena marah. Tapi beliau-beliau masih sayang juga. Ditanya, “apa kendalanya?” “Mau ganti dosbing ta?”. Tidak se-menyeramkan apa yang aku bayangkan. Lebih banyak beliau memotivasi, mengingatkan soal kewajiban kita dengan orang tua. Tiba namaku dipanggil.

“Salsabila Yasmin” ibu koordinator akademik memanggil namaku.
“Iya saya Bu” aku mengangkat tangan sambil sedikit mengangguk. Belum sempat beliau melanjutkan pertanyaannya, tiba-tiba dosen pembimbingku menyela.
“Sudah nggapapa, ngga ada masalah kok Salsabila. Kamu yang kemarin maju pemilihan presiden itu kan?” hatiku rasanya nyes. hanya bisa mengangguk sambil tersenyum.
“nah, kalau Salsabila ini memang sudah bilang dari awal. Sudah siap dengan segala konsekuensinya. Kalian juga kalau ada kendala bilang. Setidaknya kami bisa menghargai apa yang sudah kalian kerjakan.” Beliau menjawab dengan nada tenang.
“yawes, dikerjakan ya. Tetap berprogress” ibu koordinator akademik menutup sesi tanya jawab denganku, setelah aku menceritakan sedikit progres.

Ya allah, betapa senangnya. Ternyata semua kekhawatiranku tidak terjadi. Tanpa aku sadari, perilaku menyenangkan yang selama ini aku usahakan menjadi wasilah keridhoan seorang guru. Karena bisa saja aku menghindar ketika bertemu beliau, hilang tanpa kabar. Karena bertemu dan menyapa beliau butuh keberanian yang ekstra. Wkwk. Siapa sih yang ngga deg-degan waktu ketemu dosen pembimbing sedangkan kita belum ada progress? Selama setahun kebelakang, aku hanya berusaha bersikap menyenangkan. Memberi kabar di awal, tetap manis dan tidak membantah ketika dimarahi, salim ketika bertemu dengan beliau. Dengan progresku yang sangat minim ini, ternyata dosen masih juga menghargai. 

Akhlaq. Iya, betapa indahnya akhlaq. Hal-hal kecil yang kadang kita sepelekan. Memberikan perhatian kepada orang yang berbicara, memberikan senyum otentik, mengangguk sebagai tanda penghormatan, antusias menanggapi apa yang orang lain butuhkan, hormat kepada yang lebih tua, menyayangi yang lebih muda, menjenguk ketika sakit, dan masih banyak lagi. Inilah alasan rosul diturunkan ke bumi. “liutammima makaarimal akhlaq”

Sebenarnya, kisahku belum apa-apa dibandingkan Rosulullah yang menjenguk seorang yahudi yang setiap hari meludahinya ketika ia sakit. Belum apa-apa dibanding sikap Rosulullah ketika dilempari batu di Thaif, lalu malaikat turun dan menawarkan agar gunung ditimpakan pada penduduknya. Rosulullah menolaknya dan menjawab “semoga kelak akan ada anak-cucu mereka yang menyembah Allah”. Bahkan Nabi musa, yang akan berhadapan dengan Firaun yang super jahat itu pun Allah perintahkan untuk mengingatkannya dengan perkataan yang lemah-lembut agar ia ingat atau takut kepada Allah. Masyaallah… semoga setelah ini Allah ringankan hati kita untuk berakhlaq mulia.

Akhlaq yang baik, adalah cerminan hati
Ibarat teko, jika isinya manis maka yang keluar juga akan manis
Coba kau tanyakan, sudahkah sikap manis keluar dari diri?
Jika belum, bisakah kau tanyakan keadaan hati?
260619

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antara Musa dan Harun

Terkisah dua sosok nabi yang berjuang di satu masa. Diturunkan di tengah masyarakat Bani Israil yang piawai berkelit dan berkeluh kesah. Melawan tirani Firaun yang keji dengan pasukan penyihir sakti mandraguna. Musa, sesosok bayi yang lolos dari genosida karena skenario Sang Maha. Diangkat anak oleh sosok paling keji di dunia sekaligus wanita yang disebut paling mulia. Kini bertarung dengan Ayah angkatnya. Allah katakan, serulah dengan qaulan layyinan. Lidahnya yang cedal menjadi kekurangan yang sangat menggengu dalam misinya menyeru pada agama. Betapa berat cobaannya, pengikutnya tak seberapa. Ia pinta Harun, saudaranya untuk menemani langkah perjuangan. Untuk apa? Bukan untuk mengurangi bebannya, melainkan sebagai partner untuk senantiasa mengingat tuhan-Nya. Iya, bukan sebagai tempat berkeluh kesah, menimpakan beban, atau bahkan untuk disalah-salahkan. Dalam kehidupan berorganisasi, tak jarang kita menemukan partner-partner dalam hidup. Beberapa cocok dan bisa bekerja ...

Baru Kali Ini.

Ya, baru kali ini dalam sejarah semua orang dirumahkan, pertemuan ditiadakan, sekolah-sekolah diliburkan. Kata ayah, ini kejadian pertama bahkan dalam sekian panjang umur hidupnya, atau bahkan umur kakek. Apa yang sebenarnya tengah terjadi? Wabah Covid-19 yang kontroversial ini mulai diwaspadai di Indonesia ketika umi dan yaya umroh bulan Januari lalu. Saat itu H-3 kepulangan. Bandara-bandara di Indonesia sudah mulai memasang thermal check. Aku kirimkan screenshot salah satu media yang aku baca “umi, yaya, pulangnya hati-hati ya.” aku kirimkan pesan singkat itu di grup keluarga. Sejak awal perbincanganku dengan teman-teman mengenai wabah ini, kita memang tidak pernah biasa memandangnya. Ini perkara serius yang harus ditangani segera.  Perkembangan setelah itu pesat sekali. Wacana publik yang berkembang di Indonesia, dari para ahli yang memperhitungkan banyak hal, hingga bumbu-bumbu politis dan kebijakan yang sampai hari ini belum terlihat titik terangnya. Rakyat disuguhi hi...

Cita-Citaku

Bicara soal masa anak-anak, pasti kita selalu dijarkan untuk membuat cita-cita. Dan kalo kita ingat lagi, rasanya dulu cita-cita kita suka berubah-ubah. Tergantung mood, pengetahuan, atau buah fikir lainnya. Aku pun begitu. Waktu aku kecil, aku punya cita-cita untuk menjadi dokter. Karena apa ya? Aku lupa. Seingatku, aku Cuma menganggap kalau profesi itu keren. Cukup. Soal dedikasi, profesi ini tidak perlu dipertanyakan lagi. Lama kelamaan, ketika sedikit dewasa, aku mulai paham bahwa profesi dokter bukan profesi yang mudah dicapai. Butuh perjuangan, bahkan hanya untuk masuk ke pendidikannya. Bukan hanya itu, uang yang harus disediakan pun tidak sedikit. Tak sampai hati rasanya untuk memaksakan   cita-cita ini ke umi yaya. Ah, lagipula nilaiku juga pas-pasan. Kalau memang masih mau nekat, mungkin dokter gigi saja. Masa SMP-SMA adalah masa pencarian. Berbagai profesi aku perhatikan. Aku sempat ingin jadi politisi. Salah satu hobiku ketika di pondok adalah baca Koran di pap...