Langsung ke konten utama

Cara Tuhan Mencintaimu

Beberapa jam lalu, di meja kami yang penuh camilan dan masing-masing dengan segelas susu.

"aku bingung..."

Suasana riuh, tapi di meja ini kami saling terdiam. Agaknya sibuk dengan fikiran masing-masing. Mengkode-kode satu sama lain dengan pesan lelah yang sama. Yang kami tau, raga ini lelah. Tapi tidak dengan jiwa kami.

"mit, entah mengapa kita selalu diuji dengan hal yang menjadi titik kelemahan kita. Allah itu pengen kita tidak terus menerus memanjakan diri dengan menjustifikasi kelemahan yang kita punya"

"maksudnya?" aku menimpali

"contohnya, ini ceritaku asli ya. Aku itu terlalu ambisius dalam memperjuangkan suatu hal. Allah memberiku pelajaran dengan berkali-kali ikut suatu lomba, tapi gagal. Sampai pimnas pun, aku masukkan 3 judul dan ternyata ngga ada satupun yang lolos pendanaan. Ternyata aku sadar, dibalik semua kegagalanku itu Allah punya rencana yang lebih indah. Allah loloskan aku di sebuah lomba yang tidak pernah aku sangka, dan itulah hadiah terindah yang pernah aku terima. Bukan sebuah medali, tapi umroh ke baitullah yang mulia. Disitu titik dimana aku bisa menurunkan standar ambisiku yang dulu gaada batasnya."

"aku juga mit" seru seseorang di sebelah kananku lalu menyeruput susu di gelasnya. Sejenak kami menunggu. Aku bersiap menyimak.

"aku itu orang paling sombong di kelas waktu SMA. gak tanggung-tanggung ey. Dalam 6 taun aku ngga pernah turun dari peringkat 2 besar. Tapi di perkuliahan ini, gatau kenapa bahkan IPK-ku ngga pernah diatas 3. Rupanya, Allah mau menyampaikan pesan tersirat. Kamu sepinter apapun, tetep Allah punya kuasa. Ini cara Allah menghapuskan sedikit demi sedikit rasa sombong di hati aku mit. Yaaa meskipun sekarang IPK-ku naik sih. Tau berapa?"

"berapa?" ujarku

"3,01" dan meja kami pun riuh sejenak oleh tawa.

"oke oke. Terus apa yang kamu bingungkan sekarang mit?"

Suasana hening sejenak. Aku membiarkannya.

"ah, ngga papa. Sebenarnya aku orang yang mudah sekali kebingungan menghadapi suatu masalah. Mungkin masalah ini adalah cara Allah sedang mencintai hamba-Nya"

Kami tersenyum.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antara Musa dan Harun

Terkisah dua sosok nabi yang berjuang di satu masa. Diturunkan di tengah masyarakat Bani Israil yang piawai berkelit dan berkeluh kesah. Melawan tirani Firaun yang keji dengan pasukan penyihir sakti mandraguna. Musa, sesosok bayi yang lolos dari genosida karena skenario Sang Maha. Diangkat anak oleh sosok paling keji di dunia sekaligus wanita yang disebut paling mulia. Kini bertarung dengan Ayah angkatnya. Allah katakan, serulah dengan qaulan layyinan. Lidahnya yang cedal menjadi kekurangan yang sangat menggengu dalam misinya menyeru pada agama. Betapa berat cobaannya, pengikutnya tak seberapa. Ia pinta Harun, saudaranya untuk menemani langkah perjuangan. Untuk apa? Bukan untuk mengurangi bebannya, melainkan sebagai partner untuk senantiasa mengingat tuhan-Nya. Iya, bukan sebagai tempat berkeluh kesah, menimpakan beban, atau bahkan untuk disalah-salahkan. Dalam kehidupan berorganisasi, tak jarang kita menemukan partner-partner dalam hidup. Beberapa cocok dan bisa bekerja ...

Baru Kali Ini.

Ya, baru kali ini dalam sejarah semua orang dirumahkan, pertemuan ditiadakan, sekolah-sekolah diliburkan. Kata ayah, ini kejadian pertama bahkan dalam sekian panjang umur hidupnya, atau bahkan umur kakek. Apa yang sebenarnya tengah terjadi? Wabah Covid-19 yang kontroversial ini mulai diwaspadai di Indonesia ketika umi dan yaya umroh bulan Januari lalu. Saat itu H-3 kepulangan. Bandara-bandara di Indonesia sudah mulai memasang thermal check. Aku kirimkan screenshot salah satu media yang aku baca “umi, yaya, pulangnya hati-hati ya.” aku kirimkan pesan singkat itu di grup keluarga. Sejak awal perbincanganku dengan teman-teman mengenai wabah ini, kita memang tidak pernah biasa memandangnya. Ini perkara serius yang harus ditangani segera.  Perkembangan setelah itu pesat sekali. Wacana publik yang berkembang di Indonesia, dari para ahli yang memperhitungkan banyak hal, hingga bumbu-bumbu politis dan kebijakan yang sampai hari ini belum terlihat titik terangnya. Rakyat disuguhi hi...

Cita-Citaku

Bicara soal masa anak-anak, pasti kita selalu dijarkan untuk membuat cita-cita. Dan kalo kita ingat lagi, rasanya dulu cita-cita kita suka berubah-ubah. Tergantung mood, pengetahuan, atau buah fikir lainnya. Aku pun begitu. Waktu aku kecil, aku punya cita-cita untuk menjadi dokter. Karena apa ya? Aku lupa. Seingatku, aku Cuma menganggap kalau profesi itu keren. Cukup. Soal dedikasi, profesi ini tidak perlu dipertanyakan lagi. Lama kelamaan, ketika sedikit dewasa, aku mulai paham bahwa profesi dokter bukan profesi yang mudah dicapai. Butuh perjuangan, bahkan hanya untuk masuk ke pendidikannya. Bukan hanya itu, uang yang harus disediakan pun tidak sedikit. Tak sampai hati rasanya untuk memaksakan   cita-cita ini ke umi yaya. Ah, lagipula nilaiku juga pas-pasan. Kalau memang masih mau nekat, mungkin dokter gigi saja. Masa SMP-SMA adalah masa pencarian. Berbagai profesi aku perhatikan. Aku sempat ingin jadi politisi. Salah satu hobiku ketika di pondok adalah baca Koran di pap...