Langsung ke konten utama

Rasanya Mencoba Ikut Berbahagia Itu…


Aku punya banyak teman-teman yang hebat. Kami mengabdi bersama untuk melakukan hal-hal besar.

Beberapa waktu yang lalu, dua temanku harus berangkat untuk melaksanakan tugas belajar. Padahal pekerjaan yang harus kami lakukan sedang banyak-banyaknya. Aku ngga faham kenapa waktunya pas sekali.  Aku mencoba ikut bahagia. Mereka harus tetap berangkat. Meski 1-2 minggu bukan waktu yang singkat. Aku selalu ingat, bahwa mereka akan kembali dengan ilmu baru yang membuat etos kerja kita lebih meningkat. Aku percaya itu.

Tak lama kemudian, teman seperjuanganku yang lain memberi kabar. Kabar yang dari lama dirahasiakannya. Katanya “nanti aja aku kasih tau kalo udah keterima”. Sepertinya dia takut aku marah-marah dan melarangnya karena aku memang galak. Saat itu, aku  tidak menyangka. Ternyata ia lolos dan menjadi finalis di salah satu ajang kompetisi terbesar se-kota. Butuh waktu yang panjang untuk menyelesaikan kompetisi ini, bahkan harus menjalani berbagai karantina. Aku bernafas panjang, agaknya takut dilupakan sebagai bagian dari amanah lama. Tapi tak apa, toh masa pengabdian ini tidak berhenti di sini saja. Masih ada berpuluh tahun waktu untuk kami mengabdi. Biarlah masa ini menjadi berharga baginya. Jadi aset terbaik sepanjang hidupnya. Meski hari ini -sejak saat itu- kabarmu masih menjadi hal yang paling kutunggu dan yang paling berharga. Tak apa hari ini kau lupa. Tapi suatu hari, kau akan tau seberapa penting jalan pengabdian ini dan hatimu akan selalu terpikat disana. Ya, aku percaya.

Kabar lain menyapa, lagi-lagi tanpa mukaddimah. Beberapa hari sebelum keberangkatan, ia menyapaku “alsa, aku keterima exchange ke china”. tidak ada hal lain yang bisa kuucapkan selain kata “ah iya, gapapa” sambil tersenyum selebar mungkin. Dalam hati, menghitung-hitung. Apa saja yang harus kupersiapkan untuk menggantikan perannya selama ia tak ada? Ia terlalu hebat untuk digantikan. Hanya 2 minggu sebenarnya, tapi 2 minggu ketika ia pergi adalah waktu yang cukup krusial dalam pekerjaan kami. Aku sayang padanya, sungguh. “pergilah, tak apa, asal kau bawakan aku oleh-oleh naga. wkwkwk”. Ini mungkin akan jadi pengalaman terbaik dalam hidupmu, tapi sungguh aku lebih senang ketika kau memberitahuku lebih awal, agar aku bisa memikirkan oleh-oleh apa yang harus kupesan. Aku harap, kita masih saling percaya.

Satu lagi. Kawanku yang ini memutuskan pilihan besarnya untuk menikah di usia muda -bukan hanya satu orang sebenarnya-. Siapa teman yang tidak berbahagia ketika teman terdekatnya menikah? Kurang ajar sekali. Tetapi di sisi lain, kami masih punya proyek besar. “janji ya, jangan ninggalin kami. Kita selesaikan bareng-bareng ya” ujarku saat itu. Baginya, menikah adalah sebuah darurat. Sudah banyak yang menggoda, harus disegerakan. Aku menerimanya, bahkan mendorongnya dan membantu di saat hari bahagianya tiba. Tapi hari ini, aku harus percaya bahwa kita sama-sama berusaha.  Kau masih berusaha beradaptasi dengan kondisimu yang baru, aku berusaha untuk tetap percaya akan janji kita untuk menyelesaikan proyek besar kita bersama.

Bukan hanya saling mengenal, proses pertemanan kita adalah proses saling mengerti. Bahkan saling membantu dan saling mendahulukan hajat satu sama lain. Mengerti posisimu adalah satu dari sekian  pelajaran berharga dalam hidupku. Terkadang perlu banyak pemakluman untuk menjaga ikatan antara kita. Aku tidak akan lelah untuk memaklumi segala kondisimu, semoga kaupun juga sebaliknya.

Seseorang pernah berkata kepadaku
Bahwa rasa sayang harus dibilang dengan kata
Uhibbukum Fillah
Hanya Allah yang bisa merekatkan ikatan antara kita
Pergilah kawan, mimpimu adalah mimpiku juga
Bahagiamu, bahagiaku juga
Semoga kalian membaca disaat yang tepat
250918

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antara Musa dan Harun

Terkisah dua sosok nabi yang berjuang di satu masa. Diturunkan di tengah masyarakat Bani Israil yang piawai berkelit dan berkeluh kesah. Melawan tirani Firaun yang keji dengan pasukan penyihir sakti mandraguna. Musa, sesosok bayi yang lolos dari genosida karena skenario Sang Maha. Diangkat anak oleh sosok paling keji di dunia sekaligus wanita yang disebut paling mulia. Kini bertarung dengan Ayah angkatnya. Allah katakan, serulah dengan qaulan layyinan. Lidahnya yang cedal menjadi kekurangan yang sangat menggengu dalam misinya menyeru pada agama. Betapa berat cobaannya, pengikutnya tak seberapa. Ia pinta Harun, saudaranya untuk menemani langkah perjuangan. Untuk apa? Bukan untuk mengurangi bebannya, melainkan sebagai partner untuk senantiasa mengingat tuhan-Nya. Iya, bukan sebagai tempat berkeluh kesah, menimpakan beban, atau bahkan untuk disalah-salahkan. Dalam kehidupan berorganisasi, tak jarang kita menemukan partner-partner dalam hidup. Beberapa cocok dan bisa bekerja ...

Baru Kali Ini.

Ya, baru kali ini dalam sejarah semua orang dirumahkan, pertemuan ditiadakan, sekolah-sekolah diliburkan. Kata ayah, ini kejadian pertama bahkan dalam sekian panjang umur hidupnya, atau bahkan umur kakek. Apa yang sebenarnya tengah terjadi? Wabah Covid-19 yang kontroversial ini mulai diwaspadai di Indonesia ketika umi dan yaya umroh bulan Januari lalu. Saat itu H-3 kepulangan. Bandara-bandara di Indonesia sudah mulai memasang thermal check. Aku kirimkan screenshot salah satu media yang aku baca “umi, yaya, pulangnya hati-hati ya.” aku kirimkan pesan singkat itu di grup keluarga. Sejak awal perbincanganku dengan teman-teman mengenai wabah ini, kita memang tidak pernah biasa memandangnya. Ini perkara serius yang harus ditangani segera.  Perkembangan setelah itu pesat sekali. Wacana publik yang berkembang di Indonesia, dari para ahli yang memperhitungkan banyak hal, hingga bumbu-bumbu politis dan kebijakan yang sampai hari ini belum terlihat titik terangnya. Rakyat disuguhi hi...

Cita-Citaku

Bicara soal masa anak-anak, pasti kita selalu dijarkan untuk membuat cita-cita. Dan kalo kita ingat lagi, rasanya dulu cita-cita kita suka berubah-ubah. Tergantung mood, pengetahuan, atau buah fikir lainnya. Aku pun begitu. Waktu aku kecil, aku punya cita-cita untuk menjadi dokter. Karena apa ya? Aku lupa. Seingatku, aku Cuma menganggap kalau profesi itu keren. Cukup. Soal dedikasi, profesi ini tidak perlu dipertanyakan lagi. Lama kelamaan, ketika sedikit dewasa, aku mulai paham bahwa profesi dokter bukan profesi yang mudah dicapai. Butuh perjuangan, bahkan hanya untuk masuk ke pendidikannya. Bukan hanya itu, uang yang harus disediakan pun tidak sedikit. Tak sampai hati rasanya untuk memaksakan   cita-cita ini ke umi yaya. Ah, lagipula nilaiku juga pas-pasan. Kalau memang masih mau nekat, mungkin dokter gigi saja. Masa SMP-SMA adalah masa pencarian. Berbagai profesi aku perhatikan. Aku sempat ingin jadi politisi. Salah satu hobiku ketika di pondok adalah baca Koran di pap...