“Senangkah kau ketika adzan maghrib dikumandangkan,
sedangkan esok hari puasa?”
Ibaratkan sebuah game, ramadhan adalah level bonus yang
setara dengan kemenangan 1000 level yang lainnya dengan mengalahkan bos besar
nafsu kita sendiri. Pertanyaannya, apakah kita bisa memastikan dapat memasuki
level tersebut jika di level sebelumnya kita sudah “game over”? atau mungkin
nyawa kita ternyata sudah tinggal 1 dari yang semulanya 3, apakah kita bisa
optimal di level tersebut?
Siapa yang bisa menjamin kita masuk ke bulan ramadhan?
Maghrib itu, aku beraktifitas seperti biasa. Rasa senang
karena memasuki ramadhan sudah tentu ada. Tapi jujur rasanya agak sedikit
hambar. Mungkin persiapan selama ini masih kurang. Selepas tarawih, aku
mendapatkan berita. Dosen yang paling kami sayangi meninggal dunia. Tidak ada
satupun yang menyangka. Umurnya masih sangat belia. Pembawaannya sangat ceria. Tidak
pernah marah, semua mahasiswa merasa beruntung dibimbing olehnya. Beliau dipanggil
ke haribaan-Nya beberapa minggu setelah persalinan anak pertamanya. Anaknya sehat,
bahkan sebelumnya kami tidak pernah mendengar berita buruk tentang kondisi
kesehatan beliau meskipun proses persalinannya tidak sesuai rencana.
Saat aku melayat ke rumahnya, disampaikan bahwa beliau
meningal pukul 17.30. tepat beberapa menit sebelum adzan maghrib berkumandang. Tepat
beberapa menit sebelum ramadhan datang.
Sepulang dari melayat, belum selesai masa berduka, berita
lain datang. Salah satu temanku masuk rumah sakit semalam. Beberapa jam setelah
adzan maghrib berkumandang, beberapa jam setelah ramadhan datang.
Kawan ku ini seorang laki-laki yang tinggi dan besar. Ketika
kami menjenguknya, bahkan rona wajahnya masih terlihat baik-baik saja. Setelah kami
berbincang beberapa saat, kami tau bahwa sakitnya akibat radang lambung, karena
tidak teratur makan katanya. Beberapa saat kemudian, ia terduduk dan memuntahkan
isi lambungnya yang sudah kosong sedari awal. Ia ambil obatnya untuk diminum,
tapi apa daya, tubuhnya menolak mentah-mentah. Di depannya ada berbagai makanan, tapi tak
satupun bisa disentuhnya.
Setelah aku menjenguknya, aku teringat bahwa aku berjanji
untuk memenuhi suatu undangan. Sesampainya aku di tempat undangan, aku melihat
ada seseorang yang membacakan puisi. Begini katanya “apakah surga harus dicari,
ketika ia bisa ditemukan di bibir pantai dimana matahari terbenam dengan
indahnya? Apakah surga harus dicari, ketika ia hadir di puncak pendakian kita
saat mentari terbit dengan eloknya?”
Aku termenung, sampai detik ini aku masih mencari surga yang Allah janjikan. Salah satunya dengan optimal beribadah di bulan ramadhan. Siapakah
ia yang tak ingin mencari surga? Usut punya usut, ternyata yang membacakan
puisi tadi adalah seorang non-muslim. Saat
itu aku paham, mengapa ia tak memahami indahnya surga yang dimaksudkan.
Dalam waktu 24 jam itu aku belajar. Bahwa sampainya kita di
bulan ramadhan ini adalah suatu karunia yang besar. Ada orang yang menginginkan
indahnya ramadhan, tapi izrail ternyata lebih dahulu datang. Ada yang
merindukan puasa dengan tenang, tapi ternyata ia dipaksa puasa dengan sakit
yang dideritanya. Ada yang bahkan tidak merasa penting bertemu dengannya,
karena nikmatnya iman dan islam belum sampai di lubuk hatinya.
Lalu aku tau, mengapa rasa hambar itu ada. Karena syukurku
yang kurang sepertinya.
Selepas shalat maghrib
hari itu, aku pejamkan mata
Kukirimkan doa untuk
dosenku agar diberikan ketenangan di alam kuburnya
Kukirimkan doa untuk
temanku agar sakitnya jadi penggugur dosa
Kukirimkan doa untuk
semua yang belum merasakan nikmatnya iman dan islam
Semoga suatu saat,
Allah memperkenankan hatinya untuk merasakan nikmat sama
dengan apa yang telah aku rasa.
200518
Komentar
Posting Komentar