Langsung ke konten utama

Antara Cinta dan Waktu



“kamu akan selalu punya waktu untuk yang dicinta”

Prioritas, biasanya diidentikkan dengan mana yang lebih penting, mana yang lebih mendesak, mana yang lebih harus didahulukan. Tapi sebenarnya, secara sederhana bisa kita runtut, yang mana yang lebih kau cinta, itulah yang kau jadikan prioritas.

Mari kita coba ambil sebuah kasus.

Ketika di rumah, orang tua kita sakit. Sedangkan ada pekerjaan yang harus diselesaikan di kantor. Mana yang kiranya akan diprioritaskan? Jika kita lebih cinta pada orang tua di rumah, maka bisa jadi kita pulang dan menjenguk orang tua. Jika kita lebih cinta terhadap pekerjaan kita, maka kita akan tinggal dan menyelesaikan semuanya.

Sederhananya seperti itu. Tapi nyatanya, hidup ini kadang tidak sederhana.

Ketika kita pulang ke rumah dengan niat tidak ingin dipandang buruk oleh keluarga, maka cinta kita untuk siapa? Untuk orang tua, atau untuk pandangan orang semata?

Ketika kita memutuskan untuk tidak pulang dengan pertimbangan bahwa apa yang kita kerjakan bahkan menyangkut nyawa orang yang lebih banyak –misalkan dokter-, tidak bisa menunggu dan tidak bisa digantikan, sedangkan rasanya, kita masih bisa menjenguk orangtua kita setelah perihal ini diselesaikan, maka cinta ini untuk siapa? Benarkah pekerjaan ini hanya berarti materi semata?

Apa yang menjadi dasar dari segala perbuatan kita, itulah yang secara tidak sadar sebenarnya kita cinta.

Kalau cinta dunia?

Secara sederhana, tanyakan pada hatimu apa yang menjadi alasan atas rutinitasmu selama ini. Tanyakan hingga menemukan pangkal dimana kamu tidak lagi bisa menjawab. Itulah alasan terdalam dari amalanmu selama ini. Dan disitulah sebenarnya cintamu selama ini berada. Sudahkah ia pada jawaban-jawaban yang pantas?

Kamu kuliah karena apa? kamu ikut organisasi karena apa? Kamu ngaji karena apa?

Iyakah mentok di alasan-alasan duniawi, atau memang hanya ridho Allah yang dicari?
120418


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Selagi muda, belajar!

Jadi, aku mau cerita, Pada suatu hari (ehem)…  Aku, seorang mahasiswi usia 22 tahun. Yang insomnia kalau sudah masuk usia kritis finansial. Kebetulan hari itu kena musibah, rantai motor yang romantis menemaniku setiap hari akhirnya memutuskan hubungan rantainya. Alhasil, malem itu aku harus nelpon umi, minta tolong dijemput dan motor malang itu terpaksa harus kutitipkan di sebuah kantor bisnis coaching. Sambil nunggu dijemput, aku membaca sebuah selebaran. Dalam waktu dekat akan ada pelatihan bisnis. Sepertinya aku sudah mulai butuh untuk upgrade diri ke arah sana. Akhirnya, malam itu diakhiri dengan batinan yang ternyata didengar Allah sebagai doa. Iya, doa 1 bulan setelahnya, mendekati waktu training bisnis, ayah tiba-tiba bilang. “kak, daftar ke coaching bisnis ya” “ehiya? Yang mana?” dan ditunjukkanlah brosur persis seperti yang aku lihat malam itu. Setelah sedikit berdiskusi. Bismillah, insyaallah berangkat.  Setelah hari H, ada sedikit miskom deng...

Don't Break the Chain

Ada suatu waktu dimana kita terinspirasi akan suatu hal, berusaha berubah setelahnya. Satu-dua hari tekat itu berhasil. Hari setelahnya, kita lupa lalu berkurang-berkurang, sampai kita semakin pesimis   akan tekat kita di awal. Kembalilah kita di kebiasaan sebelumnya. Akhirnya terbentuklah siklus males- terinspirasi- lupa- pesimis- males lagi (Hiyaa). Istiqomah ada kaitannya dengan habit. Habit, maknanya sebuah kebiasaan. Seseorang akan terbentuk sesuai kebiasaannya. Membentuk sebuah kebiasaan itu ngga gampang gais. Ada lika-liku yang harus ditempuh. Kalau kata pak Rhenald Kasali dalam bukunya self driving , ada peran mielin (atau simpelnya ingatan dalam tubuh kita) ketika kita membentuk sebuah kebiasaan. Jalur syaraf yang semakin sering digunakan dan distimulus membuat mielin pada syaraf tersebut menebal. Di awalnya kita akan memaksa-maksakan diri untuk membiasakan hal baru. Butuh repetisi dan keteguhan hati. Don’t break the chain . Setelah lewat 21 hari, ia akan ...

Dosis Terapi

Kamu punya target harian tilawah ngga? Aku punya. Simpel sih. 1 juz per-hari. Kalau aku berhasil menuntaskan itu, rasanya hal itu jadi terapi buat mood ku selama seharian. Kalau aku baca di awal hari, aku bakal ngerasa seharian itu lebih yakin dan tenang. Kalau aku baca di akhir hari, aku bakal banyak banget merefleksi hari itu. Yang buruk biar jadi pembelajaran, yang baik untuk dipertahankan. Aku menyebut 1 juz sehari sebagai dosis terapi. Karena (versiku) dibawah itu belum berhasil jadi terapi buat jiwaku yang gampang bet goyah ini hehe. Untuk sampai ke kebiasaan 1 juz itu gampang ngga sih? Sejujurnya ngga. Butuh menangkal beribu pemakluman atas diri sendiri yang super manja. Ketika aku marah-marah sama diriku sendiri, aku bilang “ kuncinya Cuma satu, kamu mau berubah atau ngga?”. Dan harus bener-bener galak sama diri sendiri. Heu Ada saatnya juga, dimana kita udah baca, sampe ditengah-tengah nih malah capek ngos-ngosan. Habis itu malah ngitung jumlah halaman yang...