TV bukan menjadi hal yang asing bagi keluarga kami. Umi
tidak pernah melarang aku dan adek-adek menonton TV. Seingatku, TV juga tidak
pernah diboikot di rumah kami. Memang, TV banyak juga efek buruknya. Tapi, ada
satu sisi menarik yang aku suka perhatikan dari pola nonton TV di rumah kami.
Entah dari umur berapa, anak-anak umi sudah bisa memilih
tontonan sendiri. seingatku, aku tidak pernah menggemari satu sinetron pun di
TV. Apalagi sampai menunggu-nunggu seri demi serinya yang panjangnya
ngalah-ngalahi jumlah tekel di rumah. Dari kecil, umi memahamkan bawa
acara-acara itu bukan untuk anak umi. Umi tidak pernah melarang. satu-dua kali umi membiarkan kami melihatnya
hingga selesai. Setelah itu, umi pasti Tanya “coba, tadi ceritanya gimana?
Boleh ngga kita meniru kayak gitu? Ada manfaatnya ngga tontonannya? Kalau kayak
gitu, pantes ngga kita nonton?” setelah berbagai jawaban dan pengertian,
rasanya kami malu sendiri kalau ketahuan menonton acara itu lagi. Tidak hanya
sinetron. Terkadang umi juga memperhatikan kartun-kartun, atau acara anak-anak
yang mengarah ke hal yang tidak berfaedah. Dan kami diajak berfikir ulang untuk
melihat tayangan itu lagi besok-besoknya. Mengatur jam menonton juga termasuk
keputusan anak-anak umi sendiri.
Selain soal pilihan tontonan, TV di rumah kami Cuma sebagai
pelengkap. Biar rumah ngga sepi-sepi amat kalau ditinggal sendiri di rumah. Tak
jarang juga, bukannya kami yang menonton TV, tapi TV yang menonton kami. TV
menyala, tapi obrolan kami lebih renyah dan menarik dari apa yang ada di TV. Atau TV menyala, tapi kami
sibuk mengerjakan pekerjaan masing-masing. Pernah suatu saat TV kami rusak
–mungkin karena lelah dicuekin- lebih dari 3 bulan. Rasanya tidak ada yang
hilang. Keadaan kami tidak berubah. Ada
TV baru pun, tetap tidak berubah. TV tidak berhasil menjadi primadona di
keluarga kami.
Obrolan-obrolan kami jauh lebih menarik daripada tontonan
TV. Keluarga kami adalah hiburan, pendidikan, dan contoh yang jauh lebih baik
daripada TV. Adanya TV bukan alasan bagi kami untuk terlena padanya. Adanya TV
adalah hanya sebagai sarana.
Tapi, lihat tampilan TV jaman sekarang, rasanya lebih
abstrak daripada TV jaman aku kecil dulu. Tidak ada lagi lagu tikus makan
sabun, akulah dokter gigi, atau lagu kupu-kupu. TV jaman sekarang bahkan
memaksa anak-anak “mendewasakan” nafsunya. Bukan fikiran dan akalnya.
Kalau aku punya anak,
bakal aku kasih TV ngga ya di rumah?
14.03.18
Komentar
Posting Komentar