Langsung ke konten utama

Kayak Gitu yang Namanya Bercanda?

Image result for bercanda cartoon
Dalam lika-liku pertemanan, selalu ada terselip candaan-candaan. Candaan memang tidak seharusnya terlontarkan, tapi terkadang kita tidak bisa selalu kaku dalam berteman. Candaan yang menyinggung, butuh dimaafkan. Candaan yang renyah, butuh ditertawakan. Itu kalau kita lihat dari sudut pandang diri kita sebagai objek. Sebgai subjek, jangan disamaratakan. Tidak semua tawa dan diamnya teman kita berarti keadaan hatinya baik-baik saja.

Ada beberapa candaan yang sejujurnya aku paksakan tertawa ketika mendengarnya. Bukan karena tersinggung, tapi karena aku takut tergelincir ke tempat yang tidak seharusnya. Izinkan aku menuliskannya, karena bisa jadi bukan hanya aku yang tidak suka.

Yang pertama, aku terpaksa tertawa ketika ada yang menjodoh-jodohkan. Pernah dengar ungkapan witing tresna jalaran kulina? Adanya cinta karena terbiasa. Masalah hati. Candaan dengan repetisi yang berkali-kali bisa jadi doktrin tersendiri. Sedikit cerita, aku pernah terlalu dekat dengan seseorang hanya karena awalnya dijodoh-jodohkan dengannya. Aku tau mereka bercanda. Tapi tak terasa, awalnya penasaran lama-lama menjadi nyaman. Awalnya hanya kenal biasa, lama-lama mesra juga. Kepleset jadi terlanjur tresna. Dari hati, jadi perilaku. Ini sebenarnya tentang prinsip hidup juga. Bukankah yang baik akan datang dengan cara yang baik-baik? Kadang diri tidak bisa membentengi, terlebih ada teman yang mengompori. Terlalu. Asal kau tau, untuk melepaskan kebiasaan dan perasaan butuh banyak waktu dan tenaga. Jangan buat temanmu lelah karena candaan-candaan yang melambungkan hatinya tinggi-tinggi, tapi sewaktu-waktu bisa menghempaskannya dalam-dalam.

Yang kedua, tentang amanah yang akan datang. Jangan main-main dengan amanah. Karena ia tidak pernah datang dengan bercanda. Asal kau tau, candaan itu bukan membuatnya lebih legawa menerima amanah. Aku pernah merasakan ketakutan yang timbul karena aku tau bahwa hal itu berat dan parahnya, terlalu sering orang-orang mengungkapkannya dengan bercanda. Yang lebih parah, pernah juga aku merasa sombong, karena merasa pasti aku yang akan menempati posisi itu, orang-orang terlalu banyak berbicara hal tersebut kepadaku, meski bercanda. Lagi-lagi masalah hati. Amanah seharusnya bisa diterima dengan hati yang bersih. Tanpa dibumbui ambisi, tanpa dihantui oleh ketakutan yang berlebih.

Cukup dua hal itu yang menjadi penekanan selama ini. Jika memang tidak bisa memberitahu semua orang bahwa aku tidak suka, minimal aku berusaha untuk tidak melakukannya. Prinsipnya, “in ahsantum, ahsantum lianfusikum. Wa in asatum falahaa”. Kalau kamu berbuat baik, maka kamu sesungguhnya berbuat baik bagi dirimu sendiri. begitupun perbuatan buruk.

Ohiya, satu lagi
Jangan coba-coba bercanda ketika memang jadwal bulanan datang. Kamu tau sendiri akibatnya.

Hati-hati dengan lisan
Ia menggambarkan iman
Teko yang diisi teh dan gula, tidak akan mengeluarkan kotoran
09.02.2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Antara Musa dan Harun

Terkisah dua sosok nabi yang berjuang di satu masa. Diturunkan di tengah masyarakat Bani Israil yang piawai berkelit dan berkeluh kesah. Melawan tirani Firaun yang keji dengan pasukan penyihir sakti mandraguna. Musa, sesosok bayi yang lolos dari genosida karena skenario Sang Maha. Diangkat anak oleh sosok paling keji di dunia sekaligus wanita yang disebut paling mulia. Kini bertarung dengan Ayah angkatnya. Allah katakan, serulah dengan qaulan layyinan. Lidahnya yang cedal menjadi kekurangan yang sangat menggengu dalam misinya menyeru pada agama. Betapa berat cobaannya, pengikutnya tak seberapa. Ia pinta Harun, saudaranya untuk menemani langkah perjuangan. Untuk apa? Bukan untuk mengurangi bebannya, melainkan sebagai partner untuk senantiasa mengingat tuhan-Nya. Iya, bukan sebagai tempat berkeluh kesah, menimpakan beban, atau bahkan untuk disalah-salahkan. Dalam kehidupan berorganisasi, tak jarang kita menemukan partner-partner dalam hidup. Beberapa cocok dan bisa bekerja ...

Baru Kali Ini.

Ya, baru kali ini dalam sejarah semua orang dirumahkan, pertemuan ditiadakan, sekolah-sekolah diliburkan. Kata ayah, ini kejadian pertama bahkan dalam sekian panjang umur hidupnya, atau bahkan umur kakek. Apa yang sebenarnya tengah terjadi? Wabah Covid-19 yang kontroversial ini mulai diwaspadai di Indonesia ketika umi dan yaya umroh bulan Januari lalu. Saat itu H-3 kepulangan. Bandara-bandara di Indonesia sudah mulai memasang thermal check. Aku kirimkan screenshot salah satu media yang aku baca “umi, yaya, pulangnya hati-hati ya.” aku kirimkan pesan singkat itu di grup keluarga. Sejak awal perbincanganku dengan teman-teman mengenai wabah ini, kita memang tidak pernah biasa memandangnya. Ini perkara serius yang harus ditangani segera.  Perkembangan setelah itu pesat sekali. Wacana publik yang berkembang di Indonesia, dari para ahli yang memperhitungkan banyak hal, hingga bumbu-bumbu politis dan kebijakan yang sampai hari ini belum terlihat titik terangnya. Rakyat disuguhi hi...

Cita-Citaku

Bicara soal masa anak-anak, pasti kita selalu dijarkan untuk membuat cita-cita. Dan kalo kita ingat lagi, rasanya dulu cita-cita kita suka berubah-ubah. Tergantung mood, pengetahuan, atau buah fikir lainnya. Aku pun begitu. Waktu aku kecil, aku punya cita-cita untuk menjadi dokter. Karena apa ya? Aku lupa. Seingatku, aku Cuma menganggap kalau profesi itu keren. Cukup. Soal dedikasi, profesi ini tidak perlu dipertanyakan lagi. Lama kelamaan, ketika sedikit dewasa, aku mulai paham bahwa profesi dokter bukan profesi yang mudah dicapai. Butuh perjuangan, bahkan hanya untuk masuk ke pendidikannya. Bukan hanya itu, uang yang harus disediakan pun tidak sedikit. Tak sampai hati rasanya untuk memaksakan   cita-cita ini ke umi yaya. Ah, lagipula nilaiku juga pas-pasan. Kalau memang masih mau nekat, mungkin dokter gigi saja. Masa SMP-SMA adalah masa pencarian. Berbagai profesi aku perhatikan. Aku sempat ingin jadi politisi. Salah satu hobiku ketika di pondok adalah baca Koran di pap...